MACCANEWS- Bencana gempa bumi yang melanda Lombok akhir-akhir ini semakin menyadarkan kita bahwa kearifan lokal bangsa kita sebenarnya sudah mempunyai solusi untuk mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh bencana.
Salah satunya adalah penggunaan kayu sebagai bahan baku utama untuk pembangunan rumah. Rumah kayu, terbukti lebih memiliki daya tahan dibandingkan dengan rumah modern saat menghadapi gempa.
Aktivis pendidikan di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Munawir Haris menawarkan konsep hunian sementara terbuat dari kayu dan bambu dengan biaya murah bagi korban bencana gempa bumi Lombok.
“Bangun rumah ini biayanya cukup Rp10 juta. Lumayan untuk jadi hunian sementara,” katanya yang juga Ketua Yayasan Anak Pantai di Dusun Labuan Pandan, Lombok Timur, Jumat.
Pengelola pendidikan tingkat SD, SMP dan SMA yang digratiskan biaya pendidikannya serta klinik untuk warga tidak mampu itu, menyebutkan rumah itu berbahan baku kayu untuk rangka kemudian bambu untuk dindingnya, sedangkan atap dari asbes.
“Kayu yang digunakan dari pohon kelapa. Bahan baku kayu pohon kelapa dan bambu mudah ditemukan oleh warga,” tandasnya.
Ia menyebutkan rumah tersebut berukuran 5 x 4 meter dengan dua kamar tidur, namun terkadang ada juga warga yang menambah bale-bale di halaman rumahnya.
Dirinya berani mengeluarkan ide tersebut karena sudah membangun 125 rumah kayu seperti itu di dusunnya. Sampai sekarang ke-125 rumah masih bertahan, meski digoyang gempa yang berpusat dekat dusunnya itu, ujarnya.
Soal daya tahan rumah, ia menjamin rumah seperti itu bisa bertahan sampai 10 tahun. “Toh kalau rusak juga, tinggal diganti saja kayu dan bambunya,” katanya.
Karena itu, ia akan menawarkan konsep rumah yang pernah dibangun di dusunnya selama ini. “Saya nanti akan tawarkan ke pemerintah,” katanya.
Sambil menunggu membangun rumah tembok yang biayanya cukup mahal, lebih baik bangun rumah hunian berkonsep alami dan berbiaya super murah, ujarnya.
Penggunaan rumah kayu ini sebenarnya bukan hanya lebih murah, namun juga lebih tahan gempa. Relawan menyebutkan sejumlah rumah adat yang berbahankan kayu di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, masih kokoh berdiri meski diguncang gempa tektonik 7 Skala Richter (SR).
Seperti rumah adat di Senaru dan Batu Layar, kata relawan Yayasan Lingkungan Tanpa Batas Indonesia yang diketuai Sri Mulyani, Indriyatno kepada media.
Dosen Prodi Kehutanan Universitas Mataram menambahkan masyarakat Lombok itu memiliki kearifan budaya lokal ketika hidup di sekitar “ring of fire”. Namun hanya modernisasi membuat perubahan bentuk dan bahan rumah.
“Walaupun hidup di daerah bencana (rumah adat), mereka cukup dapat beradaptasi awalnya,” katanya.
Justru teman saya seorang relawan dari Belgia yang menyadarkan pentingnya rumah ekologi di daerah rawan bencana, katanya.
Terkait dengan biaya pembangunan rumah kayu itu, kata dia, jika dikombinasi dengan bambu, biayanya bisa lebih murah.
Ia memperkirakan biaya rumah kayu memakan biaya sekitar Rp30 juta sampai Rp40 juta. “Apalagi kalau pengerjaannya bergotong royong. Bisa untuk menata kampung sekaligus untuk tujuan destinasi wisata,” katanya.
Kendati demikian, dirinya akan berkonsultasi dengan arsitek, yang mungkin lebih mengetahui besaran biayanya.
Bahkan relawan dari Belgia, ingin dibuatkan contoh rumah bambu di Senaru atau di Sembalun dalam waktu dekat untuk masyarakat di daerah tersebut.
Dari pantauan media, rumah adat yang bertahan dari gempa tektonik itu, seperti Masjid Kuno Bayan dan Kampung Adat Bayan Timur dan Barat yang sama sekali tidak rusak terkena guncangan gempa. (*)