MACCANEWS – Sandiaga Uno telah membenarkan informasi yang dihembuskan Andi Arief dari Partai Demokrat terkait pencapresan Prabowo Subiyanto – Sandiaga Uno dalam koalisi Partai Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS. Pengakuan Sandi telah mengubah posisi mahar yang semula isu sekarang menjadu fakta setelah Sandiaga Uno mengaku.
“Maka yang perlu diselidiki adalah, apakah dana Rp. 1 trilun yang diberikan kepada Rp. 500 miliar untuk PAN dan Rp. 500 miliar lagi untuk PKS, sebagai dana untuk kampanye Pilpres atau mahar pokitik untuk membeli syarat dukungan 20% kursi Parpol di DPR untuk syarat pencapresan,” kata Petrus.
Selain itu, kata Petrus, harus dibuktikan juga apakah dana Rp. 1 triliun yang digelontorkan kepada PAN dan PKS bersumber dari dana pribadi Sandiaga Uno atau bersumber dari pemberian sumbangan pihak ketiga kepada Sandiaga ketika menjabat sebagai Wagub DKI Jakarta.
“Jika dana Rp. 1 triliun itu bersumber dari dana pribadi Sandiaga Uno, maka yang harus ditelusuri oleh KPK adalah apakah dana Rp. 1 triliun itu termasuk kekayaan Sandiaga Uno yang sudah dilaporkan dalam LHKPN kepada KPK atau di luar LHKPN. Jika dana Rp. 1 triliun itu adalah dana yang di luar LHKPN maka Sandiaga Uno patut diduga telah tidak jujur dalam melaporkan besarnya kekayaan yang dilaporkan kepada KPK melalui LHKPN,” jelas Petrus.
Namun, lanjut dia, jika dana Rp. 1 triliun itu diperoleh dari sumbangan pihak ketiga, maka penerimaan dana itu seharusnya masuk dalam kategori gratifikasi yang tidak dilaporkan Sandiaga Uno ke KPK dalam 30 hari sejak diterima Sandiaga Uno dari pihak ketiga.
“Rencana Sandiaga Uno untuk berkonsultasi dengan pimpinan KPK harus diterima sebagai orang yang perlu didengar keterangannya terkait dugaan gratifikasi atau suap atau sebagai Penyelenggara Negara yang tidak jujur dalam melaporkan kekayaannya di dalam LHKPN,” imbuh dia.
Menurut Petrus, Sandiaga Uno ibarat berada dalam posisi memakan buah simalakama.
“Karena di satu pihak terbukti memiliki dana Rp. 1 triliun tetapi tidak dilaporkan dalam LHKPN dan/atau mendapat dana dari pihak ketiga hingga mencapai angka Rp. 1 triliun atau lebih, tetapi tidak melaporkan dana itu ke KPK sebagai gratifikasi, malah dana itu langsung menuju PAN dan PKS atau pihak lainnya untuk dana kampanye Pilpres 2019, tanpa mempertimbangkan syarat-syarat pemberian dana kampanye Pilpres 2019, menurut UU Pemilu, baik mengenai besaran maksumum sumbangan maupun kepada siapa sumbangan itu diberikan,” ujarnya.
Petrus menuturkan bahwa dana kampanye Pilpres 2019 menurut pasal 325 dan 328 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017, memang antara lain bersumber dari pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan harus dicatat dalam pembukuan khusus dana kampanye.
“Namun problemnya hingga saat ini Prabowo Subiyanto dan Sandiaga Uno belum ditetapkan oleh KPU sebagai Capres dan Cawapres 2019. Dengan demikian dana Rp. 1 triliun yang diberikan masing-masing Rp. 500 miliar kepada PAN dan PKS sulit diterima akal sehat sebagai dana kampanye, terleboh-lebih karena Partai Politik Pengusung (Demokrat, Gerindra, PKS, dan PAN) belum menetapkan Tim Kampanye, Rekening Tim Kampanye sebagai tempat pencatatan khusus dana kampanye yang besarnya dibatasi UU,” kata Advokat Peradi ini.
Petrus menyampaikan, pada saat Sandiaga Uno datang ke KPK untuk melakukan konsultasi dan klarifikasi, KPK berwenang melakukan OTT.
“Sandiaga Uno diduga menampung dana pemberian pihak ketiga untuk sumbangan dana kampanye Pilpres yang belum waktunya diberikan dan tidak memenuhi syarat pemberian sumbangan dana kampanye Pilpres yang masih prematur dan melanggar UU Pemilu 2019,” tegas Petrus.
“KPK bisa saja langsung meng-OTT-kan Sandiaga Uno saat datang dengan agenda konsultasi dana sumbangan kampanye Pilpres, apalagi pimpinan KPK sudah berada dalam posisi larangan untuk bertemu dengan orang yang sedang bermasalah dengan dana Kampanye Pilpres yang diduga berasal dari Gratifikasi, menyalahi aturan, karenanya tidak ada ruang untuk konsultasi, kecuali OTT dan langsung proses hukum untuk suatu pertanggungjawaban pidana,” tutup Petrus. (*)