MACCANEWS- Tahun 2019 ini kembali diramaikan dengan masuknya kalangan artis mendaftar menjadi bakal calon legislatif. Baik atas kemauan sendiri maupun atas dorongan partai politik. Keduanya memiliki motivasi yang berbeda, dan bertemu dalam satu kepentingan yang sama.
Bagi partai politik, merekrut artis sebagai caleg, menjadi salah satu cara untuk meningkatkan jumlah suara, karena artis / selebritis umumnya punya penggemar fanatik, yang selalu mendukung apa pun yang dilakukan idolanya.
Bagi sang artis sendiri, kedudukan sebagai anggota legislatif — jika terpilih — akan menaikan pamornya, selain sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tinggi, tetap terjaga.
Jadi ada dua keuntungan yang diperoleh: gengsi dan penghasilan. Walau pun gaji dan segala macam tunjangan sebagai anggota legislatif kadang tidak sebanding dibandingkan penghasilan sebagai artis, tetapi untuk karier yang sudah redup, akan jauh lebih baik. Bukankah mereka yang memilih jadi pejabat umumnya sudah mulai redup dalam karier keartisannya?
Mayoritas artis yang mendaftar sebagai caleg bukanlah kader partai, atau bahkan sebelum ini mereka tak pernah berurusan dengan dunia politik. Apa saja tugas sebagai anggota legislatif, jika kelak terpilih, banyak artis yang mengaku masih buta. Jika kelak terpilih, itu semata-mata karena popularitas mereka sebagai artis. Para pemilih di Indonesia memang baru sebatas tertarik dengan nama dan fisik tokoh yang dipilihnya. Misalnya karena ganteng, karena tutur katanya lembut, relijius dan lain sebagainya yang tidak ada urusannya dengan peran dan fungsi sebagai wakil rakyat atau pemimpin.
Para selebritis yang memutuskan jadi caleg itu pun tak mau tahu dengan kapasitas mereka. Mereka hanya mengandalkan masa pembekalan dari partai untuk mengisi wawasannya tentang politik dan tugasnya sebagai wakil rakyat. Kalau pun tidak bisa apa-apa, ya tidak apa-apa. Sanksinya apa? Tidak ada! Yang penting gaji, tunjangan dan fasilitas sebagai wakil rakyat tetap diterima.
Artis menjadi caleg atau kemudian terpilih sebagai anggota legislatif / eksekutif di pemerintahan merupakan fenomena lama. Saat ini pun di Senayan bercokol nama-nama artis yang duduk sebagai anggota DPR Periode 2014 – 2019.
Mereka adalah Desy Ratnasari, Primus Yustisio, Lucky Hakim, Anang Hermansyah, Eko Hendro Purnomo (semua dari PAN); Junico BP Siahaan, Rieke Diah Pitaloka (PDIP); Rachel Maryam Sayidina, Jamal Mirdad (Gerindra).
Kemudian ada Dede Yusuf Macan Effendi (artis/manta Wagub Jabar), Venna Melinda (Demokrat) Okky Asokawati (PPP) dan Krisna Mukti (PKB).
Sebelumnya ada nama-nama seperti Nurul Arifin, Qomar, Tantowi Yahya, Tere alias Theresia EE Pardede, Ingrid Maria Palupi Kansil CP Samiadji “Adji” Massaid, Komar alias Nurul Qomar, Angelina Sondakh (Demokrat, Jateng VI) , Tantowi Yahya , Nurul Arifin, Tetty Kadi Bawono (Golkar, Jabar VIII), Rieke Diah Pitaloka ,M Guruh Irianto Sukarno Putra, Miing Bagito (PDIP).
Beberapa anggota legislatif dari kalangan artis cukup kapabel. Mereka masih berbunyi. Sebut saja misalnya Rieke Dyah Pitaloka, Tantowi Yahya (kini Dubes RI di Selandia Baru), Miing Bagito, Nurul Arifin, dan Angelina Sondakh (akhirnya masuk penjara karena kasus suap). Namun sebagian besar tidak berbunyi sebagai wakil rakyat. Mereka jadi silent minority. Padahal tugas seorang wakil rakyat adalah “parle” (ngomong). Itulah sebabnya DPR disebut Parlemen.
Jangankan untuk bidang lain yang memang bukan keahliannya; untuk bidang film atau dunia entertainmen lainnya yang memerlukan perhatian DPR, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak mendorong institusinya untuk melakukan langkah-langkah strategis terhadap dunia yang pernah membesarkamnya, bersuara saja tidak.
Sebagai contoh, UU No.33 tahun 2009 tentang Perfilman sampai hari ini tidak berjalan, karena untuk pasal-pasal krusial tidak memiliki Peraturan Pemerintah (PP). Akibatnya banyak terjadi konflik di antara stakeholder perfilman. Terutama antara pembuat film (produser) dan pihak eksibitor (bioskop).
Banyak tayangan televisi tidak mendidik yang luput dari jangkauan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), atau sistem penyensoran yang masih sangat subyektif. Apakah para anggota legislatif yang berasal dari kalangan artis itu pernah menyinggungnya dalam kapasitas mereka sebagai wakil rakyat? Boro-boro. Yang ada justru ada anggota legislatif yang sibuk cawe-cawe di dunia hiburan, seperti yang dilakukan oleh Eko Patrio sebagai pemilik rumah produksi EKomando.
Tahun ini akan ada puluhan artis yang mencalonkan diri senagai anggota DPR. Mewakili partai Nasdem ada 25 orang yang terdiri dari Syahrul Gunawan, Nurul Qomar, Diana Sastra, Krisna Mukti, Lucky Hakim, Olla Ramlan, Farhan, Conny Dio, Della Puspita, Mandra, Tessa Kaunang, Krisna Mukti, Okky Asokawati, Manohara, Adly Fayruz, Lucky Perdana, Krisna Mukti, Cut Meyriska, Jonathan Frizzi, Bertrand Antolin, Annisa Bahar, Nafa Urbach, Vicky Shu, Kristina Iswandari, dan Adly Fairuz.
Sekitar 10 artis mencalonkan diri melalui partai PDIP. Mereka adalah Krisdayanti, Ian Kasela, Jeffry Waworuntu, Harvey Malaiholo, Lita Zein, Kirana Larasanti, Chicha Koeswoyo, Iis, Sugianto, dan Angel Karamoy.
Lalu ada Tommy Kurniawan, Herman gitaris Seventeen, Ivan vokalis Seventeen, Saleh Said Bajuri, Sundari Sukoco, Arzeti Bilbina, dan Zora Vidyanata yang mencalonkan diri melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Terakhir, Partai solidaritas memiliki caleg yaitu Giring Ganesha.
Dari sekian banyak nama itu beberapa adalah muka lama, yang tidak pernah berbunyi sebagai anggota DPR. Karuan masuknya mereka sebagai caleg menuai kecaman dari masyarakat yang melek politik, bahkan dari kalangan artis sendiri.
“Apa sih untungnya artis jadi anggota DPR? Kalau untuk dunia yang membesarkan mereka aja tidak berbuat apa-apa, apalagi buat masyarakat? Di pemerintahan juga sama! Apa yang sudah dilakukan Deddy Mizwar, Dede Yusuf atau Rano Karno? Jadi pejabat tapi bisanya tetap main sinetron!” kata aktor senior Soultan Saladin.
Di sisi lain, aktor yang kini menjabat sebagai Pjs PB Parfi menggantikan Aa Gatot Brajamusti yang sedang menghadapi kasus hukum itu melihat, artis hanya dijadikan “ganjal” oleh parpol, untuk menahan kendaraan politik di tanjakan.
“Artis kadang hanya dianggap sebagai batu buat ganjal ban. Setelah kendaraannya jalan, batu itu ditinggal. Atau partai politik sudah merasa cukuplah memberi tempat kepada artis sebagai anggota dewan dengan penghasilan yang tinggi. Artis tidak pernah diberi peran strategis. Atau karena artisnya sendiri tidak punya kapasitas, jadi sudah puaslah begitu,” tambah Soultan.
Artis dan partai politik sudah sama-sama menikmati keuntungan. Mereka menciptakan simbiose mutualisme. Tapi apa untungnya buat rakyat dan bangsa? Tidak ada. Kalau mereka hanya 5 D (datang, duduk, diam, dengar dan duit), justru rakyat dirugikan. Sudah dibayar mahal dengan uang hasil pajak rakyat, tetapi kerjanya tidak sebanding.
Keberadaan artis yang tidak bisa apa-apa di DPR, bukan hanya merugikan rakyat, tetapi juga akan merugikan perjalanan bangsa ke depan. Bagaimana dengan hasil kerja mereka? UU yang dihasilkan, pengawasan terhadap pemerintah; pembahasan anggaran; menangkap aspirasi masyarakat; dan lain sebagainya?
Sebelum negara ini bertambah rusak, berhentilah mempermainkan masa depan bangsa dan negara dengan mencalonkan dan memilih figur-figur (artis) yang hanya punya nama, tetapi tidak punya kemampuan bekerja. Parpol harus menyiapkan dulu kriteria artis yang akan dicalonkan sebagai wakil rakyat. Jangan asal cantik, menarik atau punya nama. Dasar pendidikan dan wawasan sang artis harus dipertimbangkan.
Rakyat juga harus cerdas menentukan pilihan. Jangan memilih figur yang hanya punya nama atau memiliki penampilan menarik, tetapi tidak bisa apa-apa. Cermati dulu, baru tentukan pilihan. Jangan membeli kucing dalam karung. Sebab kucing yang berada di dalam karung biasanya mau dibuang!