MACCANEWS– Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menuturkan, fenomena kader partai politik pindah ke partai politik lain saat pemilu bukan hal baru.
Menurut dia, kejadian seperti itu sudah terjadi sejak lama, dan kerannya semakin terbuka setelah Indonesia kembali mengalami kondisi multipartai pasca-reformasi.
Apalagi, reformasi memungkinkan terbentuknya partai politik baru yang menawarkan ideologi yang lebih “segar” ketimbang era Orde Baru.
“Pemilu pertama pasca-reformasi, kader pindah partai karena memang ada saluran ideologi yang sebelumnya belum terfasilitasi. Kemudian mendapatkan sarananya melalui partai-partai baru yang terbentuk pasca-reformasi dan menjadi peserta Pemilu 1999,” kata Titi, Sabtu (21/7/2018).
Titi menuturkan, pasca-Pemilu 1999, fenomena kader pindah partai sebagian besar akibat tarik-menarik kepentingan, terutama dalam mendulang suara.
Menurut Titi, alasan kader partai “loncat” dari satu parpol ke parpol lain disebabkan bertemunya dua kepentingan pragmatis.
“Kepentingan partai untuk mengusung caleg-caleg yang bisa menggaet suara pemilih, bertemu dengan kepentingan para kader yang ingin memastikan keterpilihan atau kemenangannya melalui partai yang dianggap lebih akomodatif pada tujuannya tersebut,” kata Titi.
Selain itu, kata Titi, perpindahan kader juga disebabkan kondisi partai yang mengalami perpecahan atau kisruh di internal.
“Sebut saja (Partai) Hanura dan PKPI. Partai Hanura sampai hari ini masih mengalami sengketa di antara para pengurusnya. Ini yang membuat beberapa kader pindah partai, karena ingin mengamankan pencalonannya pada pemilu legislatif mendatang,” kata dia.
“Jadi mereka (caleg) ingin memastikan bahwa mereka tetap bisa menjadi calon ketika partainya bersengketa. Pilihan yang paling pragmatis adalah pindah ke partai lain yang tidak mengalami masalah atau sengketa internal kepengurusan,” ucap Titi.
Lebih lanjut, Titi menuturkan “pembajakan” kader parpol lain didorong oleh ambang batas parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2019 sebesar 4 persen suara sah nasional untuk dapat mendudukkan wakilnya di parlemen.
Kader partai kecil khawatir partainya tak lolos ambang batas tersebut, sehingga pindah ke partai yang lebih besar.
“Ada kader yang pindah partai karena khawatir partai tempatnya semula bernaung tidak lolos ambang batas parlemen 4 persen. Jadi daripada dia tidak bisa melenggang ke Senayan, lebih baik dia pindah ke partai yang bisa menjanjikan kemenangan,” tutur Titi.
Namun, Titi menegaskan bahwa perpindahan kader bukanlah sesuatu yang baik, bahkan bisa melemahkan parpol sebagai institusi demokrasi.
Bagi Titi, perpindahan kader yang berdasarkan iming-iming semata dapat mencoreng marwah demokrasi, serta upaya untuk mewujudkan parlemen yang modern, bersih, antikorupsi, dan politik representatif.
“Ketika kader bisa pindah begitu saja tanpa melalui internalisasi Ideologi dan nilai-nilai yang menjadi platform partai maka partai politik tidak ubahnya seperti bisnis event organizer yang bisa menerima dan menampung siapa pun untuk menjadi caleg yang akan diusung oleh partainya,” kata dia. (*)