oleh : Saifuddin Al Mughniy
Sebagai pembuka diskursus dalam tulisan ini ada baiknya pesan filsuf seperti Nietzsche, yang mengungkapkan bahwa sejarah tragedi bermula dari perebutan kekuasaan. Ini bukan utopia, kalau sebuah pertarungan bersoal hanya kalah dan menang, hidup dan mati. Sependek itulah pemikiran sebagian orang bila “perhelatan politik”dipahami sebatas kalah-menang. Bukankah politik itu bersoal tentang kearifan dan kemanusiaan, tak melulu bicara siapa mendapat apa, dan siapa makan siapa.
Jauh-jauh hari politik telah berkembang sebagai medium saintek yang bertujuan memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Menyoal kepentingan rakyat tentu pada prinsipnya menyoal tentang kemanusiaan. Bukan mem-persengketakan kepentingan lalu mengatasnamakan rakyat. Ini satu diantara sekian banyak yang mencoba mereduksi “harkat kerakyatan” sebagaimana yang termaktub dalam konstitusi negara yang menyebutkan “bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat”.
Hal ini yang kemudian terasa terpinggirkan, sebab ambigu kekuasaan kian dominan dalam konteks politik. Liberalisasi politik begitu sulit dibendung, praktek politik transaksional cendrung menjadi asumsi pembenar atas demokrasi. Political-transaksional yang begitu massif dari kekuatan pemilik modal, membuat demokrasi terjarah, idealisme elit terbeli. Suasana diskursus pun sebagai pewarna bergeraknya demokrasi ter-distorsi dikarenakan karena fitnah, ujaran kebencian, black campaign, menjadi istrument politik untuk menghabisi lawan politiknya.
Hari-hari ini kita dicemaskan berbagai informasi media tentang suasana yang mengarah ke konflik. Ada apa sesungguhnya yang terjadi ? begitu “kejamnya politik” ataukah demokrasi yang tak dapat diajak berkompromi ? ataukah karena perilaku politik yang lepas dari landasan kebudayaannya ?. Politik, demokrasi dan kebudayaan tiga serangkai yang tak terpisah satu sama lainnya.
Politik secara kontekstual (bukan tekstual), adalah sarana atau ruang, dimana proses itu melahirkan kepemimpinan. Demokrasi (secara universal) adalah pendakuan atas sistem yang dipilih untuk menentukan proses politik yang bermartabat, karena demokrasi sangat ditentukan oleh rakyat. Sementara kebudayaan adalah lapis dari nation state, yang memproduksi tata sosial, perilaku termasuk nilai-nilai kemandirian lokal (local genius), dan kearifan lokal (local wisdom).
Maka sangat tidak mungkin ketiganya bersengketa, sebab ketiganya adalah sokoguru berdirinya sebuah peradaban kebangsaan. Dan Indonesia adalah bagian dari produk kebudayaan. Nah, dengan demikian, kalau suatu bangsa, negara, kelompok, bersengketa karena perbedaan pandangan dan pilihan politik, bisa (jadi) mereka tak memahami esensi ketiganya yakni, *politik, demokrasi dan kebudayaan*.
Karena *esensi politik* adalah mendamaikan perbedaan bukan menebar permusuhan.**
-salam literasi-