Penulis: Andi Firdaus Daeng Sirua
Pda kabinet baru Jokowi Jilid II, publik rame menyoroti *dua kementerian* yg sempat viral di sosmed, Menteri Agama dgn tambahan gawean yg disebut *deradikalisme* kmudian Kemenko Maritim *plus* [baca investasi]. Publik menafsirkan, keduanya saling terkait pdahal wilayahnya tdk saling bersentuhan. *Radikalisme* yg rame dibahas, kata sbagian org, ditengarai hanya penampakan makhluk jadi2an, sengaja diorder pihak asing yg sangat berkepentingan dgn INDONESIA: AS en CHINA, yg mlahirkan radikalisme makhluk jadi2an yg bikin heboh publik, pdahal… ? Entahlah, tanyakan pda rumput yg bergoyang…
*Radikalisme* slain *ekstrimisme*, sbagai istilah yg sering ditujukan pda klompok garis keras Muslim di berbagai belahan dunia, kmudian bermuara pda stigma: ISLAM biang terorisme dunia… tentu tdk adil, sperti kejadian pembantaian jemaah muslim di masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, terbukti pelakunya bukan muslim. Stigma Islam teroris sdh berlangsung sejak pristiwa rubuhnya menara kembar WTC [markas besar vandalis kapitalisme dunia] di New York, pda 11 September 2001, yg memposisikan Osama bin Laden sbagai makhluk haram di muka bumi.
Is oke, percuma dibahas panjang… jauh lbh mnarik mengintip *radikalisme* abal-abalan korelasinya dgn kepentingan [investasi ]AS-CHINA di balik pintu isu radikalisme. Sbagai pengantar, klo ternyata memang radikalisme mrupakan *fakta* [bukan jadi2an] yg skrg dihebohkan sbagai ancaman terhadap ideologi en stabilitas keamanan pasca pembubaran HTI, namun mnurut beberapa analisis, bahwa *akar persoalan* sesungguhnya adalah *kemiskinan riil* yg mnimpa sbagian besar ummat muslim slain *degradasi moral* ummat akibat salah kaprah bin kesurupan menenggak pil *demokrasi en HAM*, yg nongol dlm bentuk euforia kebebasan berceloteh-ria…
Indikatornya dpt ditengok ulang pda jelang Pilpres en Pemilu 2019 yg sempat mnimbulkan kecemasan publik oleh maraknya ujaran kebencian en hoax, plus taklik buta pda tokoh tertentu yg memanfaatkan kondisi ummat dgn mengatasnamakan *bela* agama [ISLAM]. Slain itu, boleh jadi pda klompok tertentu sedang dihinggapi kerinduan mendalam pda PIAGAM JAKARTA.
Akhirnya, jawaban yg termudah adalah perlunya *pendekatan budaya*, menggerakkan aktivitas sosial kemasyarakatan en ekonomi dgn prinsip nilai *gotongroyong* bin *kekeluargaan*, sperti diamanatkan UUD 1945. Sejalan posisi UUD 1945 [amandemen], beberapa anggota perlemen cetakan 2019 sempat bersuara nyaring agar mengembalikan UUD 1945 ASLI, skaligus memulihkan kembali kedudukan MPR sbagai lembaga tertinggi negara [mungkin stelah mlihat dimokrasi Pilpres en Pemilu hanya hamburin fulus] shingga fungsi MPR perlu dikembalikan ntuk memilih en mengangkat Presiden, plus memulangkan GBHN ke kandang legislatif ntuk menggantikan RPJP [Rencana Pembangunan Jangka Panjang] Tahun 2005-2025 yg tlah ditetapkan mlalui UU No. 17 thn 2007. Kata Bento, booongkar !!!
Tpi pertanyaan yg mengglitik, APAKAH radikalisme adalah *fakta ato jadi2an*… ? Rasanya sulit ntuk tdk tergelitik oleh dugaan publik terhadap fenomena nasional yg disebut radikalisme, skrg menjadi *tema besar* dlm menyoal penempatan pejabat publik, konon bin katanya tdk lain, adalah ntuk mengamankan order pihak asing-aseng, stidaknya mengamankan hasil *nego bilateral* antara Indonesia dgn pihak asing en aseng di satu pihak… BENARKAH dmikian… ? Coba diintip dulu…
Tpi sbelumnya, paparan sya tdk bertendensi negatif, kcuali cuma dorongan ringan dari stumpuk pikiran di kpala karena klamaan *diam*, wajar klo trasa gatel. So, brawal dari kunjungan Megawati ke Cina, stahun stelah Jokowi bertahta. Sbelumnya Presiden Jokowi sudah lbh dulu menyambangi Cina pda masa pemerintahannya belum brumur stahun, lalu melahirkan *bayi* proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Blakangan, diketahui biaya proyek kereta api Jkt-Bandung bukan cuma pinjaman biasa antara negara investor [aseng] dgn Indonesia, tpi lebih jauh dari itu, sbagai tonggak *dukungan* pemerintah aseng terhadap pembangunan infrastruktur yg digalakkan Presiden Jokowi.
Konsekuensinya, dlm dua thn trakhir, muncul angka2 yg menggambarkan *kemesraan* hubungan Indonesia-Cina yg terlebih dahulu mlahirkan bayi *kereta api cepat* Jkt-Bandung. Komitmen investasi Cina melonjak, porsi utang Indonesia dari Cina mningkat tajam. Babak baru Poros Jakarta-Peking yg dulu terjalin di era Presiden Soekarno, skrg kembali dirajut oleh Presiden Jokowi, penggagas *nawacita*, serapan istilah sansekerta: *nawa* [sembilan) en *cita* [harapan, agenda, keinginan], terlepas dari pertanyaan publik soal dmana *kedaulatan ekonomi* en kekhawatiran terhadap pengaruh ideologi asing-aseng [liberalisme en komunisme] bagi masyarakat-bangsa Indonesia yg lgi berupaya mencari format en penyesuaian penerapan demokrasi tanpa perlu menanggalkan identitas budaya bangsa.
Ambisi Presiden Cina Xi Jinping ntuk membangkitkan ulang rute perdagangan *Jalur Sutra* lewat program *One Belt One Road* tlah menggema scara internasional. Kebetulan Presiden Jokowi punya ambisi serupa tpi tdk sama, yakni: *mengembalikan kejayaan maritim Indonesia* dgn menjadikan *Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia*. Sama2 mengangkat smangat sejarah kejayaan masa lalu…
One Belt One Road, ato disebut *Belt Road Initiative* [BRI], oleh Pemerintah Cina scara resmi en masif dimulai di Indonesia. So, PERLUKAH Indonesia *WASPADA* ? Sabtu, 27 April 2019, menjadi hari cukup bersejarah bagi Cina-Indonesia. Kedua negara tlah menandatangani 23 kesepakatan kerjasama [MoU] ntuk sejumlah proyek di bawah panji kebijakan luar negeri pemerintah Cina yg disebut One Belt One Road [OBOR] ato Belt Road Initiative [BRI]… dahsyat.
The post *RADIKALISME abal-abalan*…? appeared first on Maccanews.