MACCA.NEWS- Ini masih soal manuver Susilo Bambang Yudhoyono. Masih sekitar kampanye akbar Prabowo Subianto- Sandiaga Uno di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Yang disebut para pendukung capres pasangan nomor 02 sebagai kampanye terunik dan terbesar di dunia ini.
Tapi, kali ini tak akan membahas kampanya yang diklaim dihadiri sejuta orang itu. Melainkan masih soal protes Ketua Umum Partai Demokrat terhadap kampanye akbar. Yang dianggapnya tidak lazim dan bersifat ekslusif. Tidak insklusif. Kental dengan warna politik identitas.
Kritik itu dilontarkan dari Singapura melalui surat kepada para pimpinan partai Demokrat di Jakarta. Diluncurkan sehari sebelum Kampanye Akbar dilangsungkan. Sambil ia menunggui Bu Ani Yudhoyono yang sedang berjuang menyembuhkan sakit kankernya.
Eh, tidak hanya surat yang diluncurkan. Agus Bambang Harimurti Yudhoyono juga tidak nongol di GBK. Padahal, ia selalu yang mewakili bapaknya dalam event-event politik penting. Mestinya, ia juga hadir dalam kampanye akbar capres dan cawapres yang diusungnya.
Pertanyaannya, mengapa SBY yang mantan Presiden RI dua periode ini bersikap di masa-masa injury time pemilihan presiden? Akankah kritiknya ini berpengaruh terhadap perolehan suara Prabowo-Sandi? Ataukah ia lebih mementingkan upaya mengerek suara partainya?
Sejumlah pertanyaan itu tetap menarik untuk dibahas. Namun, jawaban tepatnya tidak bisa dikonfirmasi sekarang. Juga susah diprediksi arah politik SBY yang sejak dulu mengenalkan politik santun dalam pergulatan politik di Indonesia ini.
Yang sudah pasti bisa dijawab adalah tentang platform partai tersebut. Kritik SBY terhadap kampanye akbar Prabowo-Sandi memang sejalan dengan partai bersimbol bintang Mercy ini. Partai yang memilih jalan tengah antara keagamaan (religius) dan nasional (kebangsaan).
”Sejak awal Partai Demokrat didirikan sebagai Partai Tengah. Tengok saja simbolnya Nasionalis-Religius. Artinya setiap orang bisa menjadi nasionalis tanpa meninggalkan religiusitas dan setiap orang bisa menjadi religius tanpa harus mengabaikan nasionalisme,” kata Andi Alfian Malarangeng.
Salah satu pengurus DPP PD yang menjadi partner diskusi SBY sejak partai itu digagas memastikan bahwa antara religiusitas dan nasionalisme kompatibel bagi Partai Demokrat. Ia seakan ingin menegaskan bahwa kritik SBY itu terkait dengan sikap dasar partai yang pernah menjadi pemenang pemilu 2009 ini.
Lalu adakah kaitan antara kritik SBY terhadap Prabowo ini dengan bagi-bagi jatah menteri ala Hasyim Djojohadikusumo? Andi menjawab diplomatis. ”Bagi kami, ini tidak ada kaitannya dengan pernyataan Pak Hasyim,” kata doktor lulusan Northern Illinois University Amerika Serikat.
Belum lama, Hasyim yang juga adik Prabowo memang pernah menyatakan bahwa PKS akan mendapat jatah 7 menteri dan PAN 6 menteri. Sedangkan Partai Demokrat yang juga dalam koalisi pengusung masih dipertimbangkan. Bagi-bagi menteri ini tentu akan diberikan jika Prabowo menang di Pilpres.
Menurut Andi, soal bagi-bagi menteri ini, Partai Demokrat sudah memberikan penjelasan gamblang sebelumnya. Dikatakan bahwa partainya menganggap belum saatnya bicara soal bagi-bagi menteri. Menang dulu. Apalagi masih ada waktu yang panjang sekali setelah menang.
”Wong pelantikan presiden masih bulan Oktober. Nggak usah nggege mongso. Lagi pula, memang Demokrat tidak pernah membicarakan apalagi meminta jatah menteri. Yang kami bicara justru soal kebijakan publik, 14 Prioritas Demokrat dan program-program pro-rakyat SBY kepada paslon,” tambahnya.
Lalu apakah kritik SBY terhadap kampanye akbar Prabowo-Sandi yang disebutnya kurang mencerminkan semua untuk semua itu untuk kepentingan elektoral Demokrat? Lagi-lagi, Andi tak langsung mengiyakan. Ini bukan soal elektoral partai Demokrat dalam pemilu legislatif yang bersamaan dengan Pilpres.
”Ini soal jati diri Partai Demokrat. Kami percaya, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat ”kurva normal” di mana masyarakat yang paling banyak ya berada di tengah,” tutur mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga di Kabinet Pemerintahan SBY ini.
Dia bilang, semakin ke ujung semakin kecil ceruknya. Karena itu, mempertahankan jati diri Partai Demokrat sebagai partai tengah dengan sendirinya mempunyai konsekuensi elektoral yang positif. Tengah dalam arti tidak terlalu kanan sekaligus tidak terlalu ke kiri.
Yang pasti, kritik SBY terhadap kampanye akbar Prabowo-Sandi ini sedikit mengganggu euforia pasangan nomor 02 dua itu. Padahal, mereka merasa sudah berhasil memutihkan GBK dengan kegiatan yang penuh bernuansa agama. Mulai dari jamaah salat Tahajud, Salat Subuh, dan munajat. Tentu selain orasi paslon, termasuk Habib Riziek dari Makkah.
SBY sebetulnya tidak terlalu salah dengan kritiknya. Banyak pihak melihat kampanye akbar Prabowo-Sandi di GBK terlalu ”berwarna” PKS dan Persatuan Alumni 212, tokoh GNPF Ulama, dan FPI. Misalnya dengan adanya orasi Alkhotot, Bahtiar Nasir, Haekal Hasan, dan sebagainya.
Partai Gerindra sebagai partai besutan Prabowo malah tidak begitu mewarnai kampanye akbar di ibukota ini. Demikian juga partai lain seperti PAN dan apalagi Partai Demokrat. Warna pelangi koalisi tak begitu kelihatan dalam show of force massa pendukung Prabowo ini.
Tapi mengapa kritik itu dilontarkan di injury time pelaksanaan dan pilpres mendatang? Ini yang tetap menjadi misteri dari SBY. Jika menilik track record perjalanan politiknya, SBY memang dikenal sebagai ahli strategi. Termasuk saat ia masih di militer.
Kalau tidak demikian, ia tak bisa menyalip di tikungan Megawati Soekarnoputri yang menjadi simbol perlawanan terhadap Orde Baru yang berakhir dengan reformasi politik. SBY tampaknya selalu menyimpan misteri setiap langkah politiknya. Termasuk dalam pilpres kali ini. (*)