MACCA.NEWS- Tanggal 17 April 2019, tinggal sebentar lagi. Itulah saatnya pertempuran puputan. Palagan penentuan siapa sang pemegang pulung pemimpin negeri ini.
Kini, bisa dikatakan memasuki masa kritis. Kampanye yang berdarah-darah. Juga sangat melelahkan.
Timeline media sosial para kandidat, penuh dengan video dan foto saat kampanye. Kampanye dengan ribuan pendukung tentu indah di mata. Juga senjata buat manas-manasin lawan.
Dan itu masih ditambah bunga-bunga dari para pendukung. Mereka saling share kandidatnya. Pamer gegap gempita kampanye.
Saling sindir. Saling mengomentari. Bahkan di Madura, sampai ada yang baku tikam. Hingga meninggal dunia.
Video-video lama yang tidak sesuai konteks bermunculan. Dari para penggemar dua kandidat. Jejak digital, mereka menyebutnya. Sayangnya, ada yang diedit sesuai keperluan masing-masing.
Semua dikomentari sumir. Dari Pak Prabowo yang menyalami pakai sarung tangan, potongan debat capres, hingga kejadian Ibu Negara terjatuh di panggung kampanye di Banjarmasin.
Meme-meme turut menyerbu. Bertebaran. Saling serang. Tentu saja, kita patut sedih bila meme itu berlebihan. Seperti tak mengambarkan adab serta etika ketimuran.
Beragam kampanye itu masih diramaikan hasil sigi. Dari para konsultan survey hingga survey Kompas. Semua jadi bahan olokan hingga pembakar semangat.
Yang pasti, beragam sigi mewartakan hal seragam. Para pendukung fanatik sudah terakumulasi. Swing voters lah harta terpendam.
Siapa yang bisa merangkulnya, dia jadi pemenang. Yang dibutuhkan, kampanye yang unik. Kampanye berbeda untuk menggaet swing voters.
Dengan jam kampanye yang padat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto pasti mengandalkan para pembisiknya. Mereka yang memberikan usulan strategi. Pilihan terbaik, hingga cara eksekusinya.
Jamak, para pembisik akan memberikan beberapa alternatif usulan atas sebuah isu. Usulan terbaik tentu saja. Tapi, pilihan eksekusi ada di tangan Pak Jokowi dan Pak Prabowo.
Di lingkaran Pak Jokowi, ada beberapa pembisik setia. Prof Pratikno, sang Menteri Sekretaris Negara. Lalu ada Pak Pramono Anung, Sekretaris Kabinet yang dekat sekali dengan Ibu Megawati. Lantas Pak Moeldoko, Kepala Kantor Staff Presiden yang juga wakil ketua umum Tim Kampanye Nasional.
Ada satu nama lagi yang penting. Johan Budi, mantan juru bicara KPK itu. Saking dekatnya, dalam sebuah acara, Pak Johan berani merangkul Pak Jokowi saat menjelaskan sesuatu.
“Bahkan, menteri-menteri lain, saat itu kaget. Kabarnya, Pak Johan yang kini banyak didengarkan Pak Jokowi,” kata seorang teman.
Di barisan Pak Prabowo, ada beberapa nama. Hasyim Djojohadikusumo, sang adik. Lalu ada Fadli Zon, wakil ketua DPR yang suka berkomentar kontroversial itu. Lantas, ada Ahmad Muzani, mantan wartawan yang kini Wakil Ketua MPR. Juga tercatat Edhy Prabowo, mantan atlet pencak silat nasional yang kini Ketua Fraksi Partai Gerindra di MPR.
“Yang lain kalau ketemu Pak Prabowo pegang “manuk” kabeh,” kata seorang teman. Menjelaskan sikap mereka yang ngapurancang. “Yang paling tidak pakewuh hanya Fadli Zon,” tambahnya.
Setiap pembisik, tentu saja punya lingkaran dalam. Mereka yang bekerja dalam senyap. Mencari informasi sebanyak-banyaknya dari lawan.
Menganalisa pilihan isu, menelaah komentar lawan, mengolah big data media sosial, hingga menyadap pola pikir lawan.
Tentu bagi mereka inilah palagan terakhir. Salah memberikan strategi, habislah seluruh mimpi. Buyar semuanya.
Swing voters terdiri dari mereka yang murni independen. Belum berkomitnen ke pihak manapun. Juga mereka yang masih terus mengamati hingga detik akhir.
Mereka yang mengamati bisa berubah haluan. Sedang yang independen bisa mantap jadi golput. Merekalah yang harus digarap maksimal.
Tak perlu dengan larangan golput. Atau bahkan menakuti dengan pelanggaran atau fatwa haram. Itu tentu tidak efektif sama sekali.
Jadi, apa yang bisa dilakukan untuk memastikan swing voters datang pada hari pemilihan dan mencoblos sang jagoan?
Kembali ke khittah. Kembali ke masa riil, kembali ke jaringan akar rumput. Tentu saja, ada beberapa praktik yang harus dilakukan agar mereka ikut gerbong pada waktunya.
Ini prosesnya bertahap. Rencanakan langkah yang benar. Jangan malu untuk mengorek hasil pemilu sebelumnya. Siapkan para relawan terlatih. Buat event kegiatan sesuai harapan swing voters.
Sepertinya, untuk yang satu ini, pembisik Pak Prabowo sadar. Selisihnya pilpres lima tahun lalu, sekitar 6 juta suara. Empat juta suara di Jawa Tengah.
Tak heran, mayoritas energi masuk ke sana. Bahkan menusuk langsung ke Solo Raya. Membuat beragam posko dan kegiatan agar mengerus basis Pak Jokowi ini.
Khusus mengaet militasi, sebagian relawan juga membuat event salat subuh akbar pas pencoblosoan. Mengikat dengan tali prinsip, agama. Terus mengajak mereka mengawasi TPS.
Kabarnya, relawan Pak Jokowi pun turun ke masjid-masjid di Jakarta. Mengumpulkan para takmir. Meyakinkan mereka agar tidak ada mobilisasi masa. Agar peristiwa Pilkada DKI Jakarta tak terulang lagi.
Pak Jokowi dan timnya juga tak mau kalah. Menyerbu Jawa Barat, Riau, juga Sumatera Barat. Menawarkan beragam program. Itulah kantong Pak Prabowo. Tapi, sepertinya ini saja tidak cukup.
Memang, mayoritas sigi menempatkan Pak Jokowi di atas angin. Bisa melenakan. Sebab bila suara tak dijaga hingga pencoblosan, suara bisa pindah kapal.
Dengan waktu yang pendek ini, tentu saja para pembisik Pak Jokowi harus menemukan mantra terbaik. Tak cukup hanya mengajak berbaju putih ke TPS. Militansi dan aktifitas relawannya harus dipompa lagi.
Penulis : Arif Afandi
Editor : Faris Mujaddid