MACCA.NEWS- Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Uung Sendana mengungkapkan, Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 menyebabkan masyarakat terbelah. Menurutnya, masing-masing pendukung seolah-olah merasa paling benar.
“Dalam dua pemilu ini, kita merasakan, kok negara kita hanya karena pilih dua pemimpin terbelah. Padahal kita kan sama-sama sebagai anak bangsa,” kata Uung Sendana dalam diskusi kebangsaan yang digelar Aliansi Anak Bangsa untuk Indonesia (AABI) di Jakarta, Minggu (24/3/2019).
Uung Sendana menuturkan, media sosial (medsos) kerap dijadikan sarana untuk menghakimi. Apabila ada pihak yang meluruskan kekeliruan, tak jarang dianggap bertentangan. Padahal tujuan memilih pemimpin pada hakikatnya untuk mencapai cita-cita berdirinya negara.
Menurut Uung, ajang pesta demokrasi sejatinya bukan segala-galanya. Menjaga semangat yang ditularkan pendiri bangsa, justru harus bisa dipertahankan dan diwujudkan. “Ujung-ujungnya, terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Keberpihakan kita harus terhadap bangsa dan negara, bukan kepada satu kelompok atau golongan tertentu,” ucap Uung Sendana.
Pada kesempatan yang sama, pendeta Irfan Hutasoit menyatakan, Indonesia dibangun oleh persahabatan dan persaudaraan. Pancasila dinilai menjadi penyatu keragaman. “Dengan Pancasila, maka keragaman, perbedaan diibaratkan sebagai mutiara-mutiara,” kata Irfan Hutasoit.
Sementara inisiator AABI, Ngatawi Al-Zastrow menjelaskan, diskusi kebangsaan dilaksanakan menjelang kegiatan doa dan ikrar kebangsaan di Tugu Proklamasi, Jakarta, Minggu (31/3/2019). “Tujuannya mengingatkan dan meneguhkan komitmen kita kepada NKRI,” kata Ngatawi Al-Zastrow.
Melalui kegiatan doa dan ikrar, Ngatawi Al-Zastrow mengungkapkan, AABI ingin membangkitkan semangat bagi warga yang tidak larut hiruk pikuk pilpres. “Mereka yang punya concern (perhatian) atas bangsa ini banyak, tapi diam, butuh momentum. Kami harap mereka bangun dan bergerak,” ucap Ngatawi Al-Zastrow.
Turut hadir dalam diskusi kebangsaan yaitu Erros Djarot, Romo Benny Susetyo, HS Dilon, Mahfud MD, Romo Frans Magnis Suseno, dan Jaya Suprana. Setiap tokoh menyampaikan pandangannya mengenai situasi kebangsaan. (*)