MACCA.NEWS– Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang lebih awal memecat Sudirman Said dari jabatannya sebagai menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun 2016, dan menggantikannya dengan Ignasius Jonan. Menurut Ferdy, jika Jokowi tak me-reshufle Sudirman Said, Indonesia hanya mendapat 20,64 persen saham dari PT Freeport Indonesia.
“Waktu menjabat sebagai menteri ESDM, Sudirman masih menggunakan peraturan pemerintah yang dibuat menjelang satu bulan mantan Presiden SBY turun tahta tahun 2014, yakni PP No.77/2014, tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Salah satu klausul dalam PP itu menunjukkan bahwa Freeport Indonesia hanya mendivestasikan 30 persen saham ke pemerintah Indonesia,” kata Ferdy , Kamis (21/2).
Padahal PP Nomor 77/2014 tersebut, kata Ferdy, jelas-jelas menunjukan titik lemah pemerintah SBY yang tak sanggup melakukan divestasi saham Freeport. PP ini juga adalah bagian dari kompromi antara pemerintahan zaman SBY dan Freeport sebagai korporasi. Sudirman Said yang menjabat sebagai menteri kala itu, menurut Ferdy, tidak mempunyai gagasan untuk mengkritisi PP tersebut.
“Nah Sudirman Said waktu menjadi menteri tidak memberikan masukan kepada presiden untuk mengubah PP yang jelas-jelas melanggar UU No.4/2009, tentang Mineral dan Batu Bara. UU No.4/2009, memerintahkan agar divestasi saham perusahaan asing harus mencapai 51 persen,” ungkap Ferdy.
Ferdy menuturkan bahwa pemerintahan SBY-Boediono memang telah mengeluarkan PP No.24/2012, yang isinya tambang asing yang sudah berproduksi selama 10 tahun wajib mendivestasikan saham sebesar 51 persen ke pihak nasional, pemerintah pusat/daerah, BUMN/BUMD dan swasta nasional. Namun, dengan dalih proses hilirisasi tambang dan investasi tambang bawah tanah, di akhir masa baktinya, SBY-Boedino, merevisi kembali PP No.24/2012 menjadi PP No.77/2014. PP No.77/2014 mengamanatkan, perusahaan tambang asing hanya mendivestasikan 41 persen yang membangun sektor hulu-hilir (smelter), seperti Eramet (Halmahera) dan 30 persen saham untuk perusahaan yang membangun tambang bawah tanah, seperti Freeport Indonesia.
“Sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani pemerintahan SBY-Boediono, Freeport McMoRan (FCX) hanya mendivestasikan 20,64 persen saham ke pihak nasional, karena saat itu pemerintah telah mengontrol 9,36 persen saham Freeport Indonesia,” jelas Ferdy.
Fery menilai jika sekarang ini, Sudirman Said menuduh Presiden Jokowi bertemu dengan mantan CEO Freeport, James Moffet, sama-sekali tak ada korelasinya. Pasalnya, Moffet sudah diganti oleh Adkerson tahun 2016 dan PP 77/2014 yang digunakan Sudirman Said untuk melakukan divestasi saham Freeport tidak digunakan sebagai rujukan lagi.
“Kementerian ESDM di bawah pimpinan Jonan mengubah PP 77/2014, menjadi PP 01/2017, yang memerintahkan Freeport untuk mendivestasi saham sebesar 51 persen kepada pemerintah Indonesia,” kata Ferdy.
Lebih lanjut, Ferdy menilai publik perlu memberikan acungan jempol kepada pemerintahan Jokowi-JK, lebih khusus kepada menteri ESDM dan menteri Keuangan yang sukses melakukan renegosiasi kontrak dengan Freeport. Apalagi, kata Ferdy, renegosiasi kontrak dengan Freeport sudah berlangsung sejak tahun 2010, pada era kepemimpinan SBY-Boediono namun, renegosiasi mengalami jalan buntu karena tarik menarik kepentingan nasional dan global. Klausul-klausul penting dalam renegosiasi kontrak, seperti divestasi saham, perpanjangan kontrak dan pembangunan smelter, tak pernah diputuskan.
“Dua tahun pertama kepemimpinan Jokowi, di bawah komando menteri ESDM Sudirman Said, renegosiasi kontrak dengan Freeport juga masih gagal. Meskipun Sudirman memberikan disposisi dan jaminan perpanjangan kontrak kepada Freeport sampai tahun 2041, tetapi pembangunan smelter tak pernah dijalankan. Renegosiasi kontrak baru menemukan titik terang ketika kementerian ESDM di bawah kendali Jonan. Jonan tak pernah bisa didikte Freeport. Jonan tegas mengatakan, Freeport wajib mendivestasikan 51 persen ke pihak nasional dan wajib membangun smelter jika ingin melanjutkan operasi tambang potensial di Grasberg,” terang Ferdy.
Meskipun begitu, kata Ferdy, Jonan tidak bisa berbuat banyak tanpa dukungan Presiden. Di bawah kepemimpinan Jokowi, negara baru kelihatan memiliki taring terhadap Freeport, bukan menjadi negara centeng (tunduk pada kehendak korporasi). Menurut Ferdy, di bawah kepemimpinan Jokowi, negara menunjukan keperkasaan memaksa korporasi untuk tunduk pada aturan main yang dibuat negara.
“Di bawah kendali Jonan, skema renegosiasi kontrak menjadi lebih baik dan lebih konstitusional. Pada zaman SBY misalnya, Freeport hanya diperintahkan mendivestasikan 30 persen saham dengan dalih perusahaan itu membangun hulu-hilir dan tambang underground. Terkait perpanjangan kontrak, rezim SBY memberikan perpanjangan sampai tahun 2041. Sementara pemerintahan Jokowi mewajibkan Freeport mendivestasikan 51 persen saham, kewajiban membangun smelter, penerimaan negara dan mewajibkan Freeport mengubah KK menjadi IUPK,” pungkas Ferdy. (**)