MACCANEWS- Sebetulnya sholat bukan ukuran seseorang layak atau tidak layak untuk dipilih menjadi presiden RI. Karena yang lebih penting adalah kemampuannya dalam menjalankan roda pemerintahan dan komitmennya dalam melaksanakan ideologi negara dan amanat konstitusi.
Karena itu, mereka yang bukan pemeluk Islam pun sebetulnya boleh-boleh saja dipilih menjadi presiden RI jika memang layak. Apalagi konstitusi menjamin adanya kesetaraan setiap warga negara di hadapan hukum dan pemerintahan.
Tapi, statemen La Nyalla Mattalitti bahwa Prabowo tak berani memimpin sholat dan baca Alquran ini penting. La Nyalla juga menyebut bahwa hal ini menunjukkan Prabowo Subianto tak begitu memahami ajaran Islam jika dibandingkan Presiden Joko Widodo (CNN Indonesia, 11/12/2018).
Pernyataan La Nyalla layak dipercaya jika mengingat posisinya dulu sebagai salah satu Direktur Penggalangan Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014.
FITNAH ANTI ISLAM
Pernyataan La Nyalla itu menjadi penting di tengah beragam fitnah anti Islam yang dituduhkan para pendukung Prabowo-Sandi terhadap Jokowi. Seolah-olah hanya Prabowolah yang layak dinilai sebagai pemimpin yang Islami, dan sebaliknya tidak bagi Jokowi.
Ingat, itu tadi seolah-olah lho ya. Faktanya, Jokowi ditinjau dari aspek apa pun, sebetulnya justru lebih “kaffah” (komprehensif) akhlak Islamnya dibandingkan Prabowo.
Jokowi, misalnya, tak hanya disiplin sholat lima waktu tepat pada waktunya, tetapi juga rutin melaksanakan puasa sunnah Senin-Kamis. Kebiasaan puasa Senin-Kamis Presiden Jokowi ini bahkan mendapat apresiasi positif dari Yusuf Mansur, salah satu ustad yang dikenal kritis kepada Jokowi.
“Bahkan di urusan puasa, Presiden Jokowi di atas saya, kemana-kemana beliau puasa Senin-Kamis. Saya tak ada (apa-apanya),” tulis Yusuf Mansur di akun Instagramnya.
Pada 2003, dua belas tahun sebelum maju Pilpres 2014, Jokowi dan istri juga sudah naik haji. Itu zaman Jokowi masih menjadi pengusaha, bukan pejabat. Berarti juga naik haji dengan biaya sendiri, bukan haji abidin (atas biaya dinas).
Jadi, kualitas keislaman Jokowi itu bukan datang tiba-tiba. Bukan demi pencitraan menjelang kampanye saja. Tidak!
MENYATU
Keislaman Jokowi sudah inheren, menyatu, dalam perilaku kesehariannya sejak lama. Pada tahun 2001, jauh-jauh hari sebelum terjun ke dunia politik, Jokowi sudah mengasah ilmunya membaca Al Quran.
Ustad Mudhakir, santri lulusan Mahad Aly Ponpes Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo sekaligus sarjana alumni Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Situbondo, menjadi pendamping Jokowi mendalami Al Quran secara privat selama sekitar setahun lamanya. Mudhakir kini bekerja sebagai guru bahasa Arab di MTsN 3 Bendosari, Sukoharjo.
Saat menjadi walikota Solo, Jokowi juga tegas menutup kompleks pelacuran Silir dan menyulapnya menjadi pasar barang klithikan (bekas). Ia juga menetapkan Solo sebagai kota Sholawat yang kemudian melahirkan Majelis Zikir dan Sholawat Ahbabul Musthofa pimpinan Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf.
Majelis Ahbabul Musthofa ini semula bernama Majelis Silir Berzikir karena berawal dari daerah sekitar kompleks prostitusi yang ditutup Jokowi tadi. Niat awal pendirian majelis ini pun semula untuk semacam terapi spiritual bagi warga Silir dan sekitarnya.
Selain itu, sebelum menjabat walikota Solo, Jokowi juga sudah mendirikan majelis zikir dan sholawat Jamuro (Jamaah Muji Rosul) bersama KH Abdul Karim, pimpinan Ponpes Al Qurani Azzayadi, Mangkuyudan, Solo.
Jadi, meskipun Jokowi seorang politikus bervisi nasionalis, namun rekam jejak keislamannya sangat jelas dan dapat diverifikasi oleh siapa pun langsung ke sumbernya.
Apalagi rekam jejak keislaman KH Ma’ruf Amin: sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Karena sebelum dipilih Jokowi menjadi cawapresnya, Kiai Ma’ruf adalah ulama pemimpin tertinggi NU dan MUI. NU adalah ormas Islam terbesar dengan nyaris seratus juta pengikut di Indonesia.
Sementara MUI adalah organisasi yang menaungi hampir seluruh ormas Islam di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Wathon, Mathlaul Anwar, LDII, MTA, dst.
Rekam jejak kedua sosok capres-cawapres nomor urut 01 tersebut tentu sangat jauh di atas rata-rata, jika dibandingkan dengan “santri” post-Islamis Sandiaga Uno maupun Prabowo. Sebab, seperti kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (pewaris sah Partai Islam Masyumi), baik Prabowo maupun Sandiaga Uno, “tidak jelas rekam jejaknya dalam gerakan Islam”.
Rekam jejak Prabowo lebih terlihat dalam dinas ketentaraannya, yang tak lepas dari kasus-kasus pelanggaran HAM, dan berakhir dengan dipecat dari dinas kemiliteran. Sementara Uno lebih terlihat sepak terjangnya dalam bisnis “fund management” melalui grup Saratoga –yang secara syar’i belum terjamin seratus persen kehalalannya.
Karena itu, tak mengherankan jika mantan kader elite Gerindra sendiri, yang tahu keseharian Prabowo, yaitu La Nyalla Mattalitti, menilai Prabowo tak begitu memahami ajaran Islam jika dibandingkan Jokowi. Apalagi dibandingkan dengan KH Ma’ruf Amin yang pakar ekonomi syariah dan fuqoha (ahli fikih) senior. Maaf ya, jauuuhh…
La Nyalla, yang kini bergabung dengan PBB, bahkan juga menyebut Prabowo tidak berani memimpin atau menjadi imam sholat. Bagaimana sosok pemimpin seperti itu bisa dieluk-elukkan jamaah penyembah Monas, eh, alumni 212 dan direkomendasikan ijma’ ulama versi mereka? Naudzu billahi min dzalik. semoga Allah menjaga kita dari kemungkinan buruk itu…(Jarot Doso)
*Penulis menyelesaikan S1 dan S2 dengan spesialisasi politik Islam di Fisipol UGM Yogyakarta.