MACCANEWS- Pernyataan Wakil Sekertaris Jenderal PDI Perjuangan, Ahmad Basarah yang menyebut Presiden Soeharto sebagai guru korupsi Indonesia terus menuai pro dan kontra.
Bahkan pernyataan ini juga membuat Basara harus berurusan dengan polisi karena dilaporkan oleh Rizka Prihandy, perwakilan komunitas Hasta Mahardi Soehartonesia ke Polda Metro Jaya pada Senin 3 Desember 2018 lalu. Basarah dituduhan telah menghina dan menyebar berita bohong atau hoax.
Pernyataan Basarah sendiri disampaikan pada 28 November 2018 lalu. Ia mengatakan negara telah menetapkan pencanangan program pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini disebutkan dalam Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 untuk menegakkan hukum terhadap terduga pidana korupsi.
“Termasuk oleh mantan Presiden Soeharto. Jadi, guru dari korupsi Indonesia sesuai Tap MPR Nomor 11 Tahun ’98 itu mantan Presiden Soeharto dan itu adalah mantan mertuanya Pak Prabowo,” kata Basarah ketika itu.
Pakar Ilmu kebijakan Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya, Malang, Dr. Romy Hermawan Jumat, 7 Desember 2018, menilai pernyataan yang disampaikan oleh Ahmad Basarah tak lebih dari upaya dari seorang wakil ketua MPR yang ingin membuka wawasan publik akan sebuah masa kelam orde baru.
“Saya kira ini bagian dari pendidikan Politik. Basarah sebagai wakil ketua MPR ingin membuka mata publik bahwa ada Tab MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Soeharto. Ini bentuk dari pendidikan politik,” ujarnya.
Pendidikan politik yang dia maksud adalah upaya untuk menyadarkan publik karena ada wacana yang belakangan ini mendorong publik untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kekuasaan pada masa Orde Baru.
Padahal, suka atau tidak suka, orde baru adalah sebuah orde yang telah disepakati untuk diganti menjadi orde reformasi. Orde baru dengan segala sistemnya telah menjadikan Indonesia sebagai negara paling korup.
Meski begitu bukan berarti tidak ada kebaikan di era orde baru. “Saya kira semangat yang disampaikan Basara lebih pada menghindarkan untuk menghidupkan budaya korupsi seperti yang terjadi pada masa orde baru. Tapi yang baik-baik dari Pak Harto tetap bisa kita tiru,” kata dia.
Dari sisi seorang politisi, pernyataan Basarah juga bukan bermaksud untuk merendahkan apalagi menjelekkan simbol Presiden Soeharto. Karena yang dimaksud Basarah lebih pada budaya korupsinya dan bukan pada simbol presidennya.
Karenanya dia sepakat untuk membawa pernyataan Basarah ini pada perspektif pendidikan politik dengan semangat menghindarkan Indonesia pada budaya korupsi yang telah menggejala seperti di zaman orde baru. (*)