Oleh: Hersubeno Arief, wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik
Anggota Badan Pemenangan Prabowo-Sandi menduga isu Ratna digunakan untuk mendorong agar Prabowo didiskualifikasi agar tidak bisa mengikuti Pilpres.
Hanya beberapa saat setelah Ratna Sarumpaet (RS) mengaku berbohong, seorang teman yang lama aktif di dunia intelijen mengingatkan. “ Coba telusuri kembali, RS pernah kehilangan tas dan HP di Danau Toba.”
Tanggal 3 Juni 2018, RS memang kehilangan hand phone. Sehari sebelumnya dia adu mulut dengan Menko Maritim Luhut Panjaitan soal evakuasi terhadap para korban kapal motor yang tenggelam di Danau Toba, Sumatera Utara.
Aktivis dan penggiat medsos Mustofa Nahrawardaya melalui akunnya mengunggah info.“BREAKING NEWS : Usai cekcok dahsyat dengan luhut, fitnah super dahsyat akan menerpa bu @RatnaSpaet. Karena HP beliau baru dicuri oleh “pencuri.” Ini sudah seperti modus rutin. Dugaan saya, pelaku adalah pencuri terlatih, dan punya keahlian khusus. Silakan capture tweet saya.”
Pada unggahan tertanggal 3 Juni 2018 itu Mustafa yang menggunakan akun @NetizenTofa melanjutkan, biasanya melalui comotan dari data HP yang “dicuri,” korban akan dihajar dgn fitnah : 01. Foto palsu. 02. Dokumen palsu. 03. Capture percakapan WA palsu. 04 Bahkan, terorisme (pendanaan, radikalisme, dll), 05.Rencana makar, 06. Aib keluarga, 06. Kiriman email palsu.
Tak lama setelah itu akun Mustofa di-suspend twitter. Dia kemudian menggunakan akun @AkunTofa. Namun seperti tantangannya, banyak warga dunia maya yang meng-capture cuitannya.
Kelompok pendukung Prabowo-Sandi meyakini ada permainan intelijen mengapa RS sampai tega membohongi Prabowo. Ini bukan pertamakalinya mereka “kebobolan.” Sebelumnya publik juga dikejutkan dengan kabar yang disampaikan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, bahwa Kapitra Ampera salah satu pengacara Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi caleg PDIP.
Publik terutama kalangan alumni 212 dibuat terbengong-bengong. Bagaimana mungkin seorang pengacara HRS menjadi caleg PDIP. Padahal HRS selama ini sudah mengeluarkan “fatwa” haram hukumnya memilih partai pendukung penista agama. Banyak yang mencurigai Kapitra adalah seorang “agen” yang disusupkan.
Ahmad Dhani, dan Fadlizon termasuk yang curiga, bahkan meyakini bahwa hand phone RS telah disadap. Keduanya mempersilakan percakapannya dengan RS dibuka kepada publik.
Dua orang ini termasuk beberapa teman yang berkomunikasi dengan RS, sebelum kasusnya meledak. Dhani mengaku dikontak sampai tiga kali oleh RS, sementara Fadli mengaku mendapat kiriman foto wajah RS yang “babak belur” melalui WA. Selain kepada Fadli, foto dengan keterangan “off the record, 21 September malam” itu, juga dikirim ke aktivis buruh Said Iqbal, dan ajudan Prabowo.
Fadli kemudian mengontak RS dan mendapat keterangan bahwa dirinya dianiaya. Tanggal 30 September sore Fadli mengunjungi Ratna di rumahnya dan mendapat cerita lengkap. “Aku sangat down, aku nggak terima perlakuan negara ini kepada saya,” tutur RS ke Fadli.
Seperti kita ketahui, RS kemudian menceritakan hal yang sama kepada Prabowo, Amien Rais, dan sejumlah tokoh lainnya. Beritanya langsung meledak.
Ratna akhirnya mengaku berbohong, setelah polisi dalam waktu yang super singkat membeberkan fakta, bahwa RS bukan dianiaya. Prabowo secara terbuka meminta maaf kepada publik. Para pendukung Prabowo menyebut mereka dibohongi, bukan berbohong. Namun muncul kecurigaan, ada apa di balik semua kehebohan ini?
Untuk apa RS berbohong? Kalau untuk membuat alibi agar tidak diketahui anak-anaknya telah melakukan sedot lemak dan operasi plastik (oplas), apa perlunya sampai melibatkan Ahmad Dhani, Fadlizon, bahkan sampai Prabowo, dan Amien Rais? Kok sangat berlebihan.
Pengakuan ini juga mudah dipatahkan. Polisi mempunyai bukti pembayaran oplas sebesar Rp 90 juta dengan melakukan auto debet sebanyak tiga kali melalui ATM milik anak lelakinya. Keluarganya jelas sudah tahu, setidaknya anak lelakinya.
Jadi apa maksud RS. Apakah dia sudah berhasil digalang seperti kecurigaan seorang teman dari komunitas intelijen tadi, atau ada agenda lain? Data dalam hand phone RS yang berhasil disedot bisa menjadi info dasar, dan kelemahan psikologinya dipelajarinya. Ini bisa mengubah RS menjadi senjata yang mematikan, karena bisa langsung melakukan penetrasi ke sasaran utama, tanpa dicurigai.
Ekonom PDIP Kwik Kian Gie mengaku sudah curiga terhadap RS. Kwik menyampaikan kecurigaannya ini kepada Sandiaga Uno. Dia baru membuka cerita ini kepada publik setelah kasusnya meledak. Kecurigaan Kwik bermula dari cerita Ratna bahwa dia tengah menangani dana trilyunan bantuan untuk warga Papua dari Bank Dunia yang diblokir Departemen Keuangan. Cerita ini bagi Kwik tidak masuk akal. Karena itu dia memperingatkan Sandi agar berhati-hati. Sebab RS adalah salah satu Jurkamnas Prabowo-Sandi.
Itu cerita versi kubu Prabowo. Bagaimana dengan versi pendukung Jokowi?
Mencari suaka ke Cile
Sangat berbeda dengan cerita kubu Prabowo yang terkesan sangat sederhana, “dibohongi,” kubu pendukung Jokowi menduga kebohongan RS merupakan skenario yang dirancang sangat matang. Budiman Sujatmiko menuding kubu Prabowo Subianto menggunakan teknik kampanye ala Donald Trump saat memenangkan Pilpres Amerika Serikat 2016.
Teknik kampanye yang dimaksud adalah Firehose of Falsehood, yakni memanfaatkan kebohongan sebagai alat politik. Teknik itu juga telah digunakan pada Pilkada DKI dan berhasil memenjarakan Ahok. Menariknya dengan teori ini Gubernur DKI Anies Baswedan ikut terseret-seret. Sebab Pemprov DKI memberi bantuan tiket RS untuk pergi ke Cile.
Alur ceritanya kurang lebih sebagai berikut : RS telah merancang lama skenario ini. Pada bulan Januari 2018 dia mengajukan bantuan tiket ke Gubernur DKI untuk pergi ke Cile. Setelah itu RS melakukan operasi plastik agar terlihat seperti orang yang dianiaya. RS kemudian merancang hoax tersebut dengan melibatkan tim pemenangan Prabowo, terutama yang berasal dari Gerindra.
Setelah berita penganiayaan meledak, pada tanggal 4 Oktober 2018 RS terbang ke Cile untuk mengikuti The 11 Women Playright Internasional Conference (WPI). Cile dipilih karena negara ini tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Setelah tiba di Cile, RS langsung bicara kepada media bahwa dia kabur dari Indonesia karena mengalami ancaman kekerasan dari penguasa.
Pada forum WPI, RS membeberkan sejumlah bukti berupa foto dan pemberitaan media. Setelah itu RS minta suaka ke beberapa negara dengan alasan keselamatannya terancam. Setelah mendapat suaka, RS akan melakukan kampanye internasional tentang keburukan rezim otoriter Jokowi, dan minta dunia internasional menekan pemerintah Indonesia.
Dengan tekanan tersebut elektabilitas Jokowi jeblok, kalah dalam Pilpres. RS melenggang kembali ke Indonesia sebagai pahlawan! Itu cerita versi kubu pendukung inkumben yang beredar di sejumlah medsos.
Benarkah?
Ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan.
Pertama, skenario yang dibuat oleh RS terlalu sederhana. Dia melakukan operasi plastik untuk membuat terlihat seperti orang yang dikeroyok dan digebuki. Bagi polisi sangat mudah untuk membuktikannya. Luka bekas pukulan, jelas sangat berbeda dengan bekas operasi. Melalui visum dokter hal itu sangat mudah dibuktikan.
Kedua, alibi yang dibangun RS juga sangat mudah dipatahkan. Dia tengah menuju bandara Husein Sastra Negara, Bandung ketika tiba-tiba dikeroyok. Nama RS tidak tercatat dalam manifest penumpang yang akan terbang hari itu. Tidak ada satupun rumah sakit, atau klinik di Bandung yang pernah merawat RS. Dari data call recorder, polisi juga menemukan fakta HP milik Ratna digunakan di sekitarJakarta pada tanggal 20-24 September.
Ketiga, bila benar dia ingin kabur ke Cile, mengapa tidak berangkat diam-diam, atau melalui jalur yang berputar sehingga kepergiannya tidak terdeteksi. Setelah kasusnya meledak, hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal wajahnya. Petugas imigrasi pasti akan segera mengenalinya.Yang terjadi ketika tiba di bandara, RS sempat selfi dan mengirimkan fotonya kepada beberapa orang dengan caption “ Maafkan kakak ya sudah membuat susah kalian. Otw ke Cile.”
Sebelum terbang RS juga sempat menerima wawancara media, dan menjelaskan rencana kepergiannya. Jadi terkesan RS sengaja memberi tahu dimana posisinya berada, atau setidaknya dia tidak merasa perlu untuk merahasiakannya.
Keempat, Bila ini operasi rekayasa, mengapa harus minta bantuan pendanaan ke Pemprov DKI. Bukankah semakin rahasia, dan semakin sedikit yang tahu, makin menjamin keberhasilan operasi.
Kelima, bila sekedar mencari negara yang tidak punya perjanjian ekstradisi mengapa mesti jauh-jauh ke Cile. Mengapa tidak pergi ke Singapura yang bisa ditempuh lewat jalur laut. Para pengemplang BLBI banyak yang tinggal nyaman di Singapura dan tak terjamah tangan penegak hukum kita.
Keenam, kalau toh benar ada skenario seperti yang ditudingkan, polisi pasti punya rekaman percakapannya. Ahmad Dhani sudah mepersilakan percakapannya dengan RS dibuka. Fadlizon juga siap menunjukkan bukti percakapannya. Kalau telfonnya disadap, dia juga mempersilakan untuk dibuka. Jadi polisi tinggal buka dan membuktikan.
Ketujuh, bila benar sedang memainkan operasi teknik propaganda Firehose of Falsehood, mengapa Prabowo mengaku salah dan segera minta maaf kepada rakyat Indonesia. Seharusnya Prabowo dan timnya diam saja, sambil menunggu RS bisa meloloskan diri ke Cile.
Dengan permintaan maaf dari Prabowo, justru menjadikan kubu inkumben sulit untuk menggoreng isu ini. Kasus ini harusnya tutup buku. Kecuali bila polisi punya bukti lain.
Yang terjadi, isu ini justru digunakan untuk menghantam Prabowo. Anggota Badan Pemenangan Prabowo-Sandi menduga isu Ratna digunakan untuk mendorong agar Prabowo didiskualifikasi agar tidak bisa mengikuti Pilpres. Mari kita tunggu apa sebenarnya peran RS. Dia sudah ditahan polisi. Bila dia bekerja untuk kepentingan lawan Prabowo, maka dia bisa bernyanyi menyeret semua nama. Toh sebagai pemain teater kawakan, “aktingnya” terbukti sungguh jempolan.
Soal benar tidaknya, tidak terlalu penting. Yang paling penting adalah pembentukan publik opini. Kalau sudah begitu siapa sebenarnya yang bermain?. (**)