Oleh: Insainal Burhamzah
*PENDAHULUAN*
Sengaja saya sajikan tulisan ini, dengan tujuan agar kita dapat mengenal sosok *Arung Palakka* dan _Kontroversi sejarahnya_, yang keberadaannya mencakup _stereotype mentah_ di abad 17, karena kita menempatkannya dengan menggunakan standard NKRI di abad 20.
Sumber tulisan ini saya ambil dari sebuah buku yang berjudul : _”The Heritage of Arung Palakka”_, karya *Leonard Y Andaya*. Seorang Profesor _Sejarah Asia Tenggara_ dari Universitas Hawai, Manoa, USA.
Leonard Andaya tertarik menulis tentang Arung Palakka, karena mengagumi sejarah hidupnya, yang me- _lagenda_ dalam cerita rakyat, dimana Arung Palakka dapat membalik kehidupannya dalam 10 tahun, dari status buronan politik kerajaan Goa yang telah menempatkan _status budak_ kerajaan Bone negerinya, menjadi penguasa Goa dan sekaligus menjadikan Bone sebagai _kerajaan atasan_ di Sulawesi Selatan.
Saya mencoba _me-rekonstruksi_ pemahaman banyak orang yang menganggap bahwa Kerajaan Goa adalah representasi _”Indonesia” sejati, yang telah dikhianati oleh kelompok “Indonesia” lainnya_ yang direpresentasikan oleh sosok Arung Palakka, dan _menjadikan Belanda sang “kolonial” sebagai pemenang utamanya._
Pemahaman itu, mengemuka khususnya setelah Indonesia merdeka. Sehingga, tinjauan sejarah masa lalu bangsa ini seakan hanya terbagi dua, _yang bersahabat dengan kolonial belanda adalah pengkhianat dan yang melawan belanda adalah patriot bangsa._
Tentu sangat naif dan gegabah jika kita menempatkan peristiwa sejarah di abad 17, sebagai standar ke _Indonesia_-an kita saat ini. Sementara, pada abad 17, _wawasan nusantara_ belum dikenal sebagai sebuah konsep teritorial oleh konfederasi kerajaan-kerajaan nusantara. Kalaupun, pernah ada kerjasama, hal itu hanya karena adanya kepentingan _”primordial sesaat”_ akibat persamaan suku dan agama saja. Bahkan, _primordialisme_ seperti itupun, tidak menjamin tetap utuhnya kerjasama konfederasi kerajaan-kerajaan nusantara, untuk tidak terjadinya konflik internal, sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Selatan sejak abad 15 sampai abad ke 18 lalu.
*Arung Palakka*, atau juga dikenal dengan nama *La Tenritetta*, lahir pada tahun 1635, di _desa Lamata, didaerah Mario Riawa, Soppeng_.
Menurut sumber setempat, Arung Palakka berasal dari elit trasisional, namun bukan putra mahkota. Ayahnya *La Pottobune Arung Tana Tenga* pemimin sebuah wanua kecil, di Soppeng, dan ibunya *Datu Mario ri Wawo We Tenrisui*, cucu Arumpone *La Tenrirua Sultan Adam,* yang pada tahun 1611 menjadi Raja Bone pertama memeluk Islam.
Ibunya memberinya gelar *Datu Mario ri Wawo*, gelar itu dikenal dimasa mudanya. Ketika dia tumbuh sebagai pemuda di Istana Goa, dia memperoleh gelar *Daeng Serang.* dan kemudian Rakyatnya memberinya gelar *Arung Palakka*, atas jasanya ketika berhasil membawa pulang rakyatnya dengan selamat dari melaksanakan kerja paksa di Goa.
Adapun nama lainnya yaitu *Petta Mallampe Gemmena* karena sumpahnya untuk tidak memotong rambutnya sampai Bone terbebas dari penjajahan dan status perbudakan Goa. Dan dia juga diberi gelar *”Toappanru”* atau sang Penankluk.
Dan ketika dia menjadi Arumpone pada tahun 1672, dia menggunakan gelar bahasa Arab, *Sultan Sa’aduddin* dan ketika dia _mangkat_, pada hari Jumat tanggal 6 April 1696, jam 11.30. dia diberi gelar *Petta Mattinro ri Bontoala.*
*SUKU DAN KERAJAAN DI SULAWESI SELATAN*
Suku-suku besar yang eksis di Sulawesi Selatan hanya ada 4 suku, yakni _Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja._ namun suku Bugis dan Makassar adalah suku terbesar di Sulawesi Selatan.
Namun, kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan hanya didomina oleh 3 Kerajaan besar saja yang secara bergantian menjadi *kerajaan atasan*, yakni kerajaan *Goa, Bone* dan *Luwu*. ketiganya bergantian sebagai kerajaan atasan terhadap sejumlah *konfederasi* kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan. *Kerajaan atasan* adalah kerajaan yang memiliki hegemoni wilayah yang menguasai wilayah lainnya, namun tetap bertanggungjawab untuk mengayomi dan memimpin kerajaan bawahannya, baik saat damai maupun ketika perang.
*Kerajaan Luwu*, adalah kerajaan atasan pertama yang pernah mendominasi konfederasi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, sejak abad ke 9, sebelum Goa dan terkakhir Bone ambil alih. Sebab, representasi paling rinci dan koheren tentang asal-usul masyarakat Sulawesi Selatan terlihat pada epos *I La Galigo*. Yang menjadi epik termasyur didunia, yang memiliki panjang tulisan melebihi epik Sidarta Gautama. Selain itu, hubungan Luwu dengan dunia luar tidak sebatas Jawa. Sebab, *Sawerigading* penguasa Luwu, yang dianggap keturunan Dewa, dalam epik _I La Galigo_ bahkan disebut melakukan perjalanan sampai ke India.
Sejakk abad ke 16 dan17, setelah Luwu ditaklukkan oleh Goa, maka pertarungan hegemoni antara kerajaan atasan silih bergati, hanya antara kerajaan Bone yang menguasai _wilayah di timur_ dan kerajaan Goa, yang menguasai _wilayah di barat_. Persaingan ini terus tumbuh, baik dalam intensitas maupun ancaman demi penguasaan wilayah di sulawesi selatan. Sehingga kerajaan kecil lainnya senantiasa berada dalam tekanan Bone dan Goa, dan kedua kerajaan tersebut memaksa mengikat komitmen dengan kerajaan lain berdasarkan keadaan.
Bahkan, kerajaan *Mandar dan Toraja,* tidak luput dari imbas pertarungan hegemoni Bone dan Goa. Dan Mandar dan Toraja paling sering menjadi korban ambisi kerajaan Bugis dan Makasar. Dan akhirnya ikut pula tenggelam dalam kehancuran politik yang terjadi dipesisir.
Ketika *Kerajaan Goa* menjadi kerajaan atasan di Sulawesi Selatan, menggantikan Luwu, yang berlangsung sejak abad ke 16. Maka, ekspansi kerajaan Goa, terus membangun hegemoninya sampai kerajaan-kerajaan diluar Sulawesi Selatan. Seperti Ternate, Buton dan Sumbawa dan lainnya. Dan kerajaan Goa menjadi kerajaan terkuat dan paling ditakuti dikawasan Timur Indonesia. Sebab, angkatan perangnya didukung persenjataan yang setara dengan persenjataan kerajaan di Eropa, dan memiliki puluhan ribu armada laut.
*Kerajaan Bone* awalnya adalah kerajaan bawahan dari kerajaan Goa yang hanya membangun persekutuan atau konfederasi kecil. Tetapi pada tahun 1565, ketika Bone dipimpin oleh Arumpone *La Tenri Wawe* Bone berhasil mengalahkan Goa, ketika Goa dipimpin Karaeng *Tunijallo*. Dan Bone memaksa Goa untuk menyetujui pembaharuan perjanjian _Callepa_. Dimana Bone meminta beberapa wilayahnya dikembalikan ke Bone, seperti _sungai WalennaE disebelah barat dan Ulaweng disebelah utara, dan sejumlah permintaan lainnya._ Setelah itu, Bone mendorong Wajo dan Soppeng bergabung, dan pada tahun 1582 disepakati persekutuan konfederasi baru yang dikenal sebagai *Tellu PoccoE*, terdiri dari Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo. Kemudian disusul bergabungnya Sinjai, Suppa dan kerajaan kecil lainnya.
Setelah Arumpone, La Tenri Wawe, wafat pada tahun 1584, dan digantikan oleh *La Ica* dan demikian pula Raja Goa Tunijallo’ wafat tahun 1950, dan digantikan oleh *Tunipasulu,* maka setelah kedua raja yang berseteru itu wafat, perang Goa-Bone pun berakhir.
Namun, Tunipasulu hanya memerintah 3 tahun karena kesalahan yang dibuatnya, dan pada tahun 1593, dia dipaksa turun tahta dan digantikan oleh saudaranya yang masih berusia 7 tahun, *I Mangnga’rangi Daeng Manrabia* yang kemudian menjadi penguasa Goa pertama yang masuk Islam dan bergelar *Sultan Alauddin*. Padan saat yang bersamaan Raja Tallo, *Karaeng Matoayya* ikut memeluk Islam. Dampaknya sangat penting dan strategis bukan hanya kepada masyarakat Goa-Tallo, tetapi berpengaruh luas pada sifat kesejajaran politik Sulawesi Selatan. Islam memeberi Goa-Tallo rangsangan dan kekuatan ekstra yang baru menghadapi Bone. Dan kemudian Goa-Tallo bukan saja menjadi kerajaan atasan Sulawesi Selatan, tetapi menjadi salah satu kerajaan terbesar diantara kerajaan lainnya di Nusantara pada zamannya.
Hampir bersamaan dengan Goa, awal abad 17, ketika perdamaian Bone-Goa masih terjalin, maka bangsawan Bone sepakat Bone dipimpin oleh seorang Ratu, *We Tenrituppu*. Kehadiran We Tenritappu, untuk menghindari raja yang sangat berambisi dan keras kepala. We Tenrituppu, kemudian menaikkan status penasehat-penasehatnya dengan mengubah gelar asli dari _Matoa Pitu_(tujuh tetua) menjadi _Aruppitu_(tujuh penguasa), dan mempercayakan mereka untuk meningkatkan pemberdayaan lahan pertanian dan tugas lainnya yang dapat meningkatkan ketahanan Bone.
*PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI SULSEL*
Hadirnya Islam sebagai agama baru di Goa, tidak berhenti hanya di kerajaan Goa saja penyebarannya. Tetapi, Sultan Alauddin menjadikan penyebaran Islam sebagai agenda resmi kerajaan. Sehingga menyebaran Islam dengan cepat sampai ke seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan dan bahkan ke kerajaan lainnya di luar Sulawesi Selatan, dengan _menyisipkan_ kalimat tambahan dalam setiap perjanjiannya antara lain mengatakan bahwa _”siapa saja yang menemukan jalan lebih baik, harus diberitahukan kepada penguasa-penguasa lain yang ikut dalam perjanjian ini”_.
Awalnya Goa mengajak Bone dan Soppeng untuk memeluk Islam. Awalnya Soppeng dan Bone menolak, dengan mengirimkan _Kapas dan Roda Putar,_ sehingga Goa mengirimkan pasukan yang yang dinamakan “perang Islam”, namun Tellu PocoE masih terlalu kuat untuk dikalahkan. Luwu sebagai kerajaan Islam di Sulawe Selatan ikut membangu Goa, dan pada tahun 1609 Sidenreng di Islamkan disusul Soppeng pada tah pada tahun 1611 memeluk Islam dan menginstruksikan rakyatnya segera masuk Islam dan berdamai dengan Goa. un yang sama, Wajo yahun 1610 dan akhirnya Arumpone *La Tenrirua*, masuk Islam dan menginstruksikan rakyatnya masuk Islam dan kembali berdamai dengan Goa. Namun, sebagian besar rakyat Bone menolak dan _La Tenrirua di jatuhkan_ dan digantikan oleh Arumpone baru yakni *Arung Timurung La Tenripale* yang memimpin penyerangan ke Goa, tetapi karena Goa didukung oleh kerajaan Islam lainnya, maka pasukan Goa dengan mudah mengalahkan pasukan Bone, dan menangkap Arumpone _Arung Timurung La Tenripale_
Islam, terus berkembang di Sulawesi Selatan, dan Goa-Tallo semakin kuat posisinya, dengan bertambahnya dukungan dari kerajaan Islam lainnya bukan hanya dari Sulawesi Selatan, tetapi juga datang dari kerajaan Islam Nusantara dan diluar Nusantara seperti kerajaan Zulu, Magindanao, Buayan di Pilipina Selatan. Untuk mengalahkan saingan Bugisnya yang masih *kafir* dengan slogan melawan pihak Kafir.
Kerajaan kembar *Goa-Tallo berganti generasi,* Sultan Alauddin, digantikan oleh *I Mannutungi Malikulsaid* yang digambarkan raja yang tidak pernah sakit dan selama memimpin tidak pernah ada wabah penyakit, tidak ada perang, atau bencana lainnya.
Sementara _Karaeng Magoayya_ dari Tallo digantikan oleh *Karaeng Pattingalloang* yang digambarkan sebagai intelektual jenius yang bukan saja menguasai bahasa _Portugis, Spanyol, Latin, Inggris, Perancis dan Arab._ tetapi menguasai sastra bahasa tersebut.
Pada tahun 1630, *La Ma’deremmeng*, menjadi Arumpone menggantikan La Tenripale. Dan pada tahun 1640 _La Ma’deremmeng_ menekankan aturan Islam _yang ingin lebih menyempurnakan Syar’iah Islam,_ dengan mengumumkan _larangan memiliki budak,_ tidak terkecuali bagi bangsawan Bone sekalipun. Dan memerintahkan pembebasan dan memerdekakan semua budak yang ada. Namun, kebijakan La Ma’deremmeng mendapat tantangan dari Bangsawan Bone yang di pimpin oleh ibunya sendiri *Datu Pattiro We Tenrisoloreng*, yang menganggap bahwa aliran Islam La Ma’deremmeng, sangat kaku dan lebih memilih Islam yang dianut Istana Goa-Tallo, yaitu aliran Mistis Sufi.
Dampak perseteruan itu disampaikan ke istana raja Goa, dan raja Goa *I Mannutungi Malikulsaid*, merespon dengan menanyakan alasan *La Ma’deremmeng* mengambil kebijakan _”pembebasan perbudakan”_ apakah berdasarkan _Hadis, Adat lama atau kemauan sendiri._ Kalau, dasarnya Hadist maka Goa tidak permasalahkan, tetapi jika tidak, maka Goa menganggap kebijakan La Ma’deremmeng adalah gerakan Politis, guna membangun hegemoni Bone, kedepan dan Goa harus mengambil tindakan pencegahan. Sayangnya Arumpone I La Ma’deremmeng tidak memberikan alasan apapun. Sehingga, disitulah awal pecahnya perang baru Goa-Bone.
*STATUS BONE DITURUNKAN DARI KERAJAAN BAWAHAN, MENJADI “BUDAK” GOA*
Konsep *Pembebasan Perbudakan* oleh La Ma’deremmeng terus memicu kecuriagaan Goa. Dan muaranya, pada tanggal 8 Oktober 1643, Goa dibantu oleh Wajo dan Soppeng menyerang Bone di _Passempe_ dan memaksa La Ma’deremmeng beserta saudaranya *La Tenriaji Tosenrima*, mundur ke _Larompong, Luwu._ Menurut penelitian terbaru, alasan Goa menyerang Bone adalah _”untuk menjaga pertikaian antara ibu (datu Pattiro) dan anaknya (La Ma’deremmeng) terus berlanjut, dan demi ketertiban Bone”_
Setelah kekalahan Bone, Karaeng Pattingalloang meminta Aruppitu memilih Arumpone baru pengganti La Ma’deremmeng. Namun, Aruppitu gagal menemukan bangsawan pengganti yang setara dengan La Ma’deremmeng, dan mungkin karena rasa frustrasi atas kekalahan Bone, maka Aruppitu meminta Karaeng Goa saja yang memimpin Bone. Tetapi *Karaeng Pattingalloang menolak tawaran Aruppitu untuk menjadi Arumpone*, dengan alasan _”adat adalah ketika kami memilih seorang penguasa, orang Bone tidak boleh ikut campur. Sebaliknya, jika orang Bone memilih Arumpone, maka kami juga tidak boleh ikut campur”_ oleh karena itu pada November 1643 seorang bangsawan Bone, *Tobala’*_(Arung Tanete Riawang yang juga anggota Aruppitu)_ diangkat menjadi “penguasa” Bone, tapi bukan Arumpone, hanya sebagai _Jennang_ atau *Kali* (semacam ketua majelis agama). Dimana, *Tobala’ bertanggungjawab pada seorang petinggi Makassar, Karaeng Samanna*. Sebab, posisi Tobala’, hanya perwakilan penguasa Goa yang menjadi kerajaan atasan Bone. *Dan Karaeng Sammana sebagai raja muda (Viceroy) Bone*8.
Ketika, La Ma’deremmeng ditangkap dan digiring ke Goa dari pelariannya di Luwu, saudaranya *La Tenriaji,* secara diam-diam kembali ke Bone, untuk menyusun kekuatan guna melawan Goa. Mendengar kabar ini Karaeng Goa kembali mengumpulkan pasukan dan mengajak _Datu Soppeng, Arung Matoa Wajo dan Datu Luwu_ untuk ikut serta menyerang Bone. Dan perang kembali pecah di _Passempe_, pada tahun 1644. Namun, sekali lagi pasukan Bone yang sudah semakin mengecil kembali ditaklukan oleh Goa. Sementara pasukan Bone yang dipimpin La Tenriaji Tosenrima, Arung Kung dan Daeng Pabila ditahan di Goa. Dan karena _Tobala’_ tidak memihak pada saat terjadinya perang, maka dia tetap diperkenankan menjadi _Jennang_/ kali.
Dampak pada kekalahan itu, Goa mengambil keputusan _”bersejarah”_, menghukum Bone dengan menurunkan statusnya dari _kerajaan bawahan_ menjadi status *”BUDAK”*nya Goa. Dan seluruh keistimewaan yang pernah diberikan Goa kepada Bone, dicabut dan seluruh negeri ditempatkan sebagai abdi Goa. Dan untuk mencegah terulangnya pemberontakan maka seluruh bangsawan Bone dipindahkan ke Goa. Diantara bangsawan Bone yang di pindahkan ke Goa, termasuk diantaranya seorang anak yang bernama *Arung Palakka.*
Meskipun, Arung Palakka adalah bangsawan Bone yang berstatus tahanan Gowa, tetapi dia tetap mendapatkan hak pendidikan yang setara dengan bangsawan Gowa lainnya. Dan diajar ditempat para bangsawan Gowa menerima pendidikan dan bahkan Arung Palakka menjadi murid kesayangan guru para bangsawan Gowa, yaitu *Karaeng Pattingalloang*.
Dan walaupun, Arung Palakka hidup di lingkungan Istana Goa dengan hak dan fasilitas layaknya bangsawan Goa lainnya. Namun masa remaja Arung Palakka, harus menyaksikan Bone menjadi kerajaan jajahan yang diperbudak oleh kerajaan Gowa. Dimana, rakyat Bone harus menanggung beban kerja paksa sebagai Budak. Baik didarat maupun di kapal laut sebagai pendayung. Tidak dapat disangkal bahwa proses perbudakan Goa terhadap Bone, menjadi kegetiran hati seorang Arung Palakka, meskipun dia diperlakukan istimewa. Yang pada akhirnya dia lebih memilih meninggalkan Istana Goa dengan segala fasilitas istimewanya, dan rela bergabung dengan rakyatnya yang hidup menderita sebagai budak.
*ARUNG PALAKKA MELARIKAN DIRI KE BUTON DAN BATAVIA*
Pada tahun 1653, terjadi peralihan pimpinan di Goa, dari Sultan Alauddin kepada *Sultan Hasanuddin*. Dan *Karaeng Karunrung* menjadi _Tumma’bicara-butta_. Setahun, kemudian Goa berkembang menjadi kerajaan kuat yang memiliki akses pada perdagangan Internasional. Sehingga ekonomi Goa terus meningkat.
Namun dibalik kejayaan Goa, Kompeni Belanda ikut khawatir, jika kerajaan-kerajaan nusantara, _Goa, Banten dan Mataram_ membangun aliansi kekuatan menghadapi Belanda. Maka, belanda memanfaatkan konflik antara Makassar dan Bugis, untuk mencegah aliansi Kerajaan Goa dengan kerajaan Nusantara lainnya terwujud.
Goa, tidak membaca politik _devide et impera_ (adu domba) yang menjadi modus belanda. Malah meneruskan kesalahan kebijakan Goa yang menghukum Bone, hanya karena kebijakan Arumpone _La Ma’ deremmeng_ yang ingin _Membebaskan Perbudakan._ Sesungguhnya ide itu sejalan dengan syar’iah Islam. Dimana gagasan LA Ma’deremme, sebagai refleksi wawasannya yang jauh melampaui batas pemahaman Islam di Goa ketika itu. Sebab, walaupun esensi makna _Pembebasan Perbudakan_ tidak ditegaskan langsung dalam Al-Qur’an, namun sangat jelas Al-Qur’an mengisyaratkannya. Sebagaimana beberapa ayat-ayat AlQur’an yang mendorong umat Islam untuk _membebaskan perbudakan_ dapat dilihat pada ayat-ayat berikut.
… _dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman …_ (QS An-Nisa : 92)
_“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak…_ (QS Al-Maidah : 89)
_Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka hendaklah memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur…_ (QS. AL-Mujadilah : 3)
_Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan , Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? melepaskan budak dari perbudakan_… (QS Al-Balad : 10-13)
Akhirnya, konflik internal konfederasi kerajaan Sulawesi Selatan meluas menjadi perang horisontal yang melibatkan berbagai pihak, khususnya Belanda.
Pelarian Arung Palakka bersama _Tobala’, Daeng Pabila, Arung Kaju, Arung Maruangeng_ dari Goa, pada tanggal 7 Agustus 1660, karena proses perbudakan Goa sudah dianggap menghina nilai adat dan harga diri orang Bone. Yang menempatkan orang Bugis sebagai Budak yang sesungguhnya, bukan sekedar hukuman Politik. Sehingga, lahirlah istilah _Siri’na Pacce atau bahasa bugisnya Siri’ na Passe,_ menggambarkan betapa pedihnya hati Arung Palakka.
Tentu, jika melihat kekuatan Goa ketika itu, maka upaya Arung Palakka untuk membebaskan Bone akan menjadi mimpi yang _mustahil_ . Sebab, posisi Bone, yang masih dalam keadaan terjajah, tidak memiliki kepemimpinan yang kuat, membangun kekuatan rill, guna melakukan perlawanan terhadap Goa. Terbukti, ketika pertempuran mereka pada Oktober 1660, melawan Goa, setelah pelariannya dari Goa, dengan mudah ditaklukan oleh Goa.
Melihat kenyataan itu, Arung Palakka, lari mencari tempat persembunyian dengan cara berpindah pindah tempat setiap saat. Selama dalam pengejaran Goa.
Akhirnya, ditengah _putus asa_ atas lemahnya perlawanan Bone dan Soppeng, yang tidak berdaya diperlakukan hina oleh Goa. Dan pengejaran Goa atas dirinya semakin gencar, maka Arung Palakka mengatakan kepada keluarganya di Soppeng bahwa _”tidak ada tempat yang aman lagi bagi dirinya di tanah bugis, dan Bone dan Soppeng sdh semakin tidak berdaya”_ Maka, dengan ditemani Arung Appanang (keponakan Arung bila) dan iparnya, Datu Citta Arung, serta 100 orang pengawal, Arung Palakka menyusup ke *Buton* (Sulawesi tenggara). Dengan perahu, melalui pelabuhan alam _Pallette,_ di Bone, yang berlangsung sekitar akhir tahun 1660. Arung Palakka, meninggalkan negerinya, menuju kemasa depannya yang belum dia kenali. Dari Buton, Arung Palakka meneruskan perjalanan ke Batavia.
Setelah kepergiaan Arung Palakka, Goa mengalami konflik internal, dimana _Tumma’ Bicara-butta, Karaeng Summanna_ mengancam mengundurkan diri dari jabatannya, dan disusul empat dari _Bate Salapang-Gallarang, Mangasa, Tombong, Bontomanang, dan Saumata_ juga mengancam mundur. Karena berselisih dengan *Karaeng Karunrung*. Walaupun Sultan Hasanuddin dekat dengan Karaeng Karunrung, namun dominan bangsawan Goa tidak menyukainya. Sehingga, Karaeng Karunrung di asingkan dan hartanya disita. Sejak peristiwa itu, Goa mengalami kemunduran diberbagai bidang.
Di Batavia, Arung Palakka, membicarakan kerjasama dengan Gubernur Belanda. Disinilah awal sebuah konflik sejarah yang kita pahami selama ini. Dimana disatu sisi Bone harus melepaskan dirinya dari penjajahan Goa yang memperlakukan kerja paksa rakyatnya secara semena-mena. Namun, disisi lain dia tidak punya pilihan lain kecuali meminta bantuan Belanda, demi tercapainya kemerdekaan Bone.
Selama di Batavia, Arung Palakka di beri tugas oleh Belanda untuk menumpas perlawanan terhadap Belanda di Jawa, Banten dan Sumatra, dengan pasukannya sendiri. Demi membuktikan bahwa Arung Palakka dapat diandalkan oleh Belanda. Hasilnya, sangat fantastis, karena diluar dugaan Belanda, Arung Palakka dapat menaklukan pemberontakan kerajaan nusantara, dalam waktu tidak lama. Bahkan di Sumatra hanya 12 jam. Sebab, tekad Arung Palakka, hanya satu. Bagaimana mendapatkan dukungan dari Belanda untuk membebaskan Bone dari penjajahan Goa, yang memiliki kekuatan yang amat besar. Bahkan, Belanda pun sangat segan dengan kekuatan Kerajaan Goa.
*ARUNG PALAKKA KEMBALI KE MAKASSAR*
Setelah Arung Palakka berhasil memenangkan berbagai pertempuran di Jawa dan Sumatra, maka Belanda mempertimbangkan memberi dukungan kepadanya. Dan pada akhirnya pada bulan Oktober 1666, Gubernur Jenderal Belanda menunjuk *Speelman* untuk mendampingi Arung Palakka, dimana Belanda masih sangat ragu menghadapi kekuatan Goa. Sehinga, Belanda memutuskan bahwa bantuan kepada Arung Palakka hanya sebatas persenjataan dan amunisi, sementara pasukan Belanda hanya sejumlah kecil saja, dan itupun hanya bersifat mengawasi penggunaan senjata dan membantu menejemen logistik perang, dari belakang. Sedangkan pasukan tempur terdepan semuanya dari pasukan Arung Palakka. Dan Arung Palakka, menyanggupi itu semua, karena tekadnya hanya satu, yaitu bagaimana segera menebus _Siri’_nya, rasa harga dirinya dan harga diri rakyat negerinya yang telah mati dibunuh oleh penguasa Goa.
Tanggal 24 November 1666, ekspedisi pasukan Belanda berlayar menggunakan kapal *Terholen* dipimpin *Laksamana Cornelis Janszoon Speelman* dan *Arung Palakka*, bergerak menuju Makassar, dan pada tanggal 17 Desember 1666 berlabuh di Tanah Keke, dan muncul di pantai Makasar. Arung Palakka memimpin pasukan Bugis didampingi _Arung Kaju dan Arung Belo Tosaddeng._ Tanggal 21 Desember 1666, dimulai serangan ke kota Makassar.
Kehadiran Arung Palakka di Makassar dengan cepat tersebar se Sulawesi Selatan. Kerajaan Goa mengalami goncangam _psikis_ dan Panik, mendengar kabar itu. Dilain pihak, orang bugis, bangkit kembali semangatnya yang selama ini hilang. Dan Datu Soppeng yang mendengar kabar itupun bangkit dengan membawa sekitar 1000 pasukan, disusul pasukan Bone yang sudah bercerai berai kembali bersatu dengan semangat.
Pada saat bersamaan Goa mengembalikan La Ma’deremme sebagai Arumpone, pada bulan Februari 1667, setelah dia di asingkan selama lebih 20 tahun lamanya dan memberikan sejumlah gelar. Agar Bone tidak memihak ketikma Goa menghadapi Arung Palakka.
Namun, _La Ma’deremmeng tidak bisa menahan gejolak rakyatnya yang kembali bangkit, setelah mendengar kembalinya Arung Palakka di Makasar,_ dan tanpa perhitungan matang, Bone segera melakukan perlawanan terhadap Goa. Sehingga pecah perang Bone melawan Goa, lebih awal dari rencana Arung palakka. Sementara pasukan Bone belum pulih sejak puluhan tahun terjajah sebagai budak Goa, dan akhirnya pasukan Bone dipukul mundur oleh pasukan Goa dan La Ma’deremmeng kembali mengungsi ke Luwu.
*ARUNG PALAKKA MENGHANCURKAN BENTENG SOMBA OPU*
Keberhasilan pasukan Goa didaerah pedalama Bone, Soppeng dan Wajo, amat berlawanan denga situasi di kota Makassar. Pasukan Makasar dibawah pimpinan Daeng Makkulle ditambah 1000 orang dari Wajo dan Lamuru bergerak melewati Soppeng dan membakar semua yang mereka lewati. Sebab, 3000 an pasukan Soppeng dan Bone sudah bergerak ke Tanete untuk bergabung dan memperkuat pasukan Arung Palakka di sana.
Pasukan Arupalakka di wilayah _Siang dan Maros,_ berhasil memukur mundur pasukan Goa. Dan pada tanggal 12 Oktober 1668, koalisi Pasukan bugis dibawah pimpinan Arung Palakka berhasil mengalahkan Goa di Makassar dalam pertempuran besar.
Dalam situasi panik dan kocar kacir, Karaeng Karunrung malah mencegah Sultan Hasanuddin membicarakan perdamaian. Sehingga, praktis Karaeng Karunrung yang mengambil alih kebijakan pemerintahan dengan gelar *”Raja Tua”*. Dia tidak lagi meminta pendapat siapapun, dan melakukan apa yang dia inginkan. Hanya Karaeng Tallo yang menantang, tetapi tidak berdaya dengan pengaruh Karaeng Karunrung. Sementara pasukan Goa terus terdesak oleh pasukan Arung Palakka.
Sultan Hasanuddin, dan sejumlah bangsawan dan pasukan intinya bertahan di *Benteng Somba Opu.* _Benteng yang berfungsi sebagai Istana dan menjadi simbol kebesaran dan kekuatan Goa._ Sehingga, Arung Palakka mengarahkan pasukannya untuk mengepung Somba Opu. Dan pada tanggal 14 dan 15 April 1669, pasukan Arung Palakka memukul seluruh perlawanan Goa di utara Somba Opu.
Dan setelah benteng Somba Opu di kepung yang diselingi gempuran senjata marian oleh pasukan Arung Palakka. Dan yang paling fatal adalah Arung Palakka memutuskan pasokan makanan selama 2 tahun. Menyebabkan seluruh pasulan dan masyarakat yang ada di benteng Somba Opu _kelaparan yang amat mengenaskan._ Akhirnya *pada tanggal 24 Juni 1669, Benteng Somba Opu jatuh.* Dan Goa menyatakan menyerah dan pada bulan November 1667, dilakukan menandatangani perjanjian Bongayya.
Lima hari setelah kejatuhan Somba Opu, Sultan Hasanuddin menyerahka tahta kepada putranya *I Mappasomba.*
Dan dengan runtuhnya kerajaan Goa, maka, Bone muncul sebagai kerajaan teratas di seluruh Sulawesi Selatan, menggantikan posisi Goa. Para pemimpin Bone-Soppeng yang paling berjasa dalam perang ini menjadi pahlawan, karena mampu Arung Palakka dapat mengalahkan Goa, yang bergelar *”Ayam Jantan Dari Timur”* itu. Dalam _mengendalikan pemerintahan_ sebagai kerajaan atasan _(tungke na tana Ugie)_ terhadap semua kerajaan bawahan di Sulwesi Selatan dan mencakup kerajaan-kerajaan lainnya di luar Sulwesi Selatan. Oleh karenanya Arung Palakka mengambil tempat sebagai tempat tinggal resminya bukan di Bone, tetapi di istana Tallo.
*ARUNG PALAKKA SEBAGAI KEPALA NEGARA, KONSFEDERASI KERAJAAN-KERAJAAN NUSANTARA*
Dengan jatuhnya Goa dan Bone muncul sebagai kerajaan atasan baru, maka peran Arung Palakka, sangat kuat di semua kerajaan bawahannya. Namun demikian, Arung Palakka tidak menyimpan dendam pribadi pada bangsawan Goa yang mau mengakui kemenangannya. Bahkan, semua fasilititas kerajaan Goa tetap dipegang oleh ahli waris Goa. Dan semua keputusan adat berada pada kendali bangsawan Goa.
Arung Palakka memimpin _sebagai kerajaan atasan dari tahun 1667 sampai dengan tahun 1695_, nyaris tanpa perlawanan berarti, dari kerajaan bawahannya. Sebelum dia meninggal dunian pada tahun 1695 dan digantikan oleh keponakannya yang bernama *La Patau.*
Namun, ada lima bangsawan Goa yang tidak dapat menerima kekalah dan tidak rela dikendalikan oleh Arung Palakka. Sehingga melarikan diri ke Jawa sampai kw Siam, Thailand., diantaranya : _Karaeng Tallo; Sultan Harunarrasyid Tumenanga ri Lampana; Karaeng Galesong (putranya Sultan Hasanuddin); Daeng Mangappa (saudara karaeng Tallo); Karaeng Bontomarannu (to ma’bicara butta Goa); dan Putra Karaeng Samanna dan Daeng Tololo._
Demi alasan Adat dan keamanan, maka kelima bangsawan tersebut dikejar oleh pasukan Arung Palakka, sampai di Jawa dan Daeng Tololo sampai ke Siam, Thailand.
Dan karena, kelima bangsawan ini mendapat perlindungan raja-raja jawa dan Banten, maka, tidak terhindarkan terjadinya konflik senjata antara pasukan Arung Palakka dengan kerajaan-kerajaan yang melindungi para bangsawan Goa yang melarikan diri itu.
Daeng Tololo lari ke Siam, Thailand dan ketika Daeng Tololo wafat akibat pertempuran yang sangat patriotis di Siam, Laksamana Perancis terkesan dengan keberanian dan daya tahannya yang mampu menghadapi ribuan musuh seorang diri. Akhirnya 2 orang anaknya diambil anak oleh Laksamana Perancis tersebut, yang kemudian kedua anak tersebut diangkat anak Raja Louise ke 14. Sementara yang lainnya bertahan di Jawa. Dan keturunan Karaeng Galesong antara lain *DR. Wahidin Sudirohusodo,* pahlawan nasional kita.
*PENUTUP*
Refleksi sejarah konflik kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, melahirkan begitu banyak cerita _folklord_ dan legenda yang memuji ketokohan pelaku sejarah itu. Yang kesemuanya memiliki *spektrum ketauladanan* yang sesuai dengan dimensi wilayah _primordial_ masing-masing.
Namun dibalik semua cerita dan tokoh yang ada, tentunya sangat naif dan gegabah jika kita mengukur mereka yang berada di abad ke 17 itu, dengan menggunakan standard moral wawasan kebangsaan masa kini.
Sebab, dimensi konflik yang terjadi di abad 17, adalah konflik kawasan yang tidak dapat di setarakan dengan konflik internal kebangsaan saat ini.
Sehingga tidak dapat disangkal Arung Palakka adalah pahlawan besar Bone dan kerajaan bugis lainnya. Demikian pula Sultan Hasanuddin adalah pahlawan Goa dan komunitas Makassar. Walaupun keduanya berada dalam _zona waktu_ yang sama, tetapi keduanya memiliki spektrum wawasan sejarah yang berbeda.
Adapun penyebab sering terjadinya konflik antara kerajaan di Sulawesi Selatan, lebih didominasi oleh ambisi raja-raja untuk memperluas spektrum _hegemoni_ kerajaannya terhadap kerajaan lainnya. Daripada, mengedepankan kesetaraan dalam konfederasi kerajaan yang ada. Sehingga, _konflik horizontal_ tidak terhindarkan. Dan demikian pula Kerajaan Atasan sering tidak dapat mengendalikan arogansi kekuasaannya, sehingga _konflik vertikal._ antara kerajaan bawahan dan kerajaan bawahan tidak terhindarkan. Seperti pada kasus antara kerajaan Goa dan Bone.
Belajar dari sejarah konflik sebelumnya, maka ketika Arung Palakka mejadi pemimpin kerajaan atasan menggantikan Goa, beliau mendorong proses asimilasi Bone -Goa. Sehingga, Goa sebagai kerajaan yang di taklukan, tidak pernah merasa diperlakukan sebagai pihak yang kalah, sebab Arung Palakka mampu menyatu kedalam budaya dan masyarakat Goa saat itu. Antara lain Arung Palakka lebih memilih tinggal di Tallo, bukan di Bone, mendorong terjadinya perkawinan antara bangsawan Bone dan Goa. Sehingga, bangsawan Goa dapat menjadi raja di Bone dan sebaliknya bangsawan Bone bisa menjadi Sombayya di Goa. Dan kondisi ini berlangsung sampai sekarang. Dan, Arung Palakka membangun kesetaraan melalui ikrar kebangsaan _Bugis-Makasaar, Bugis-Mandar dan Bugis-Tator_ ikrar ini yang melahirkan slogan _”pada idi pada elo’ sipatuo sipatokkong”_ yang artinya _”kita saling memerlukan satu dengan yang lain, sehingga harus saling membantu dalam menghadapi tantangan hidup”_
_Akhirnya Arung Palakka bukan hanya milik Bone, tetapi Goa juga melihat sosok Arung Palakka, sebagai pemimpin yang memiliki warisan moral yang melekat dan tidak terhapuskan dalam budaya Goa._
Sehingga, ketika Arung Palakka wafat pada hari Ju’mat tanggal 6 April tahun 1696. Tepat pukul 11.30. Upacara penguburannya justru diatur oleh Raja Goa, *Sultan Abdul Jalil,* bukan oleh protokoler Bone dan dikuburkan pada hari Sabtu tanggal 7 April 1696, dilokasi yang berdampingan dengan kuburan _Karaeng Patingalloang_ dan para raja-raja Goa-Tallo lainnya. (*)