Meneguhkan Gerakan Pemantauan Pemilu 2019

oleh
oleh
Meneguhkan Gerakan Pemantauan Pemilu 2019

Oleh: Alwan Ola Riantoby, Manajer Pemantauan Seknas JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakya)

Pemilu serentak 2019 merupakan proses pelaksanaan pemilu dengan 5 surat suara yang dilakukan secara bersamaan yaitu, pemilihan umum DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.

Keserentakan pada pemilu 2019 tentu akan menemukan banyak permasalahan serta kerawanan yang kemudian berdampak pada kualitas proses dan hasil pemilu 2019.

Tantangan dasar pemilu 2019 tidak hanya terletak pada proses tahapan, tetapi juga pada sejauh mana masyarakat mengenal peserta pemilu (calon DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden) yang diusung oleh partai politik, mengingat banyaknya jumlah calon yang tersebar di 80 Dapil untuk DPR, 272 dapil untuk DPRD tingkat provinsi, sementara jumlah dapil untuk DPRD Kab/Kota berjumlah 2.206 dapil diseluruh Indonesia.

Sehingga proses pemantauan menjadi hal yang sangat penting dalam menghadapi Pemilu 2019. Pemantauan pemilu merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam pemilu. Aktivitas pemantauan pada prinsipnya merupakan kegiatan memantau tahapan proses pelaksanan pemilu dengan cara mengumpulkan data, temuan dan informasi pelaksanaan pemilu.

Lembaga pemantau menjadi salah satu pilar dalam pengawalan proses pelaksanaan pemilu. Pemantauan pemilu oleh masyarakat sipil menjadi sebuah tradisi penting dalam menciptakan iklim Pemilu yang jurdil dan demokratis.

Semangat pemantauan merupakan upaya penghormatan terhadap hak-hak pemilih serta memastikan kedaulatan pemilih dan kualitas pemilu menjadi perhatian dan fokus pemantauan, hak terdaftar sebagai pemilih, hak menentukan pilihan secara mandiri, hak atas kerahasiaan pilihan, hak memilih tanpa intimidasi hak memeroleh informasi tahapan pemilu, dan hak memantau serta hak melaporkan adanya dugaan pelanggaran pemilu.

Meningkatkan Animo Pemantauan Berbasis Medsos

Di tengah minimnya minat masyarakat dalam melakukan pemantauan, JPPR tetap berupaya sekuat tenaga untuk melakukan aktivitas pemantauan. Masyarakat kini seakan terpolarisasi sehingga kecendrungan masyarakat menjadi pragmatis yang lebih memilih menjadi relawan atau tim kampanye partai politik dengan kompensasi yang lebih besar ketimbang menjadi relawan pemantau pemilu.

Kondisi ini menjadi tantangan penyelenggara Pemilu  (KPU-Bawaslu) dan lembaga pemantau untuk kembali meningkatkan animo masyarakat dalam pemantauan. Kondisi politik Indonesia yang belakangn ini relatif tidak stabil menjadi faktor minat masyarakat untuk berpartisipasi menjadi pemantau pemilu semakin berkurang.

Lembaga penyelenggara Pemilu semakin kuat dengan adanya gerakan partisipatif, KPU dengan gerakan pendidikan partisipatif, sedangkan Bawaslu mempunyai pusat pengawasan partisipatif. Namun pada sisi lain pengawasan samakin diperkuat akan tetapi pemantauan semakin melemah.

Jika pemantauan akan meningkat maka independensi jangan sampai melemah, banyak nya pelanggaran namun minim putusan dan partisipsi semakin menurun.

Melihat perkembangan pemantauan Pemilu di Indonesia saat ini perlu adanya transformasi perubahan metode pemantauan. Pemilu 2014 tercatat sebanyak 14 lembaga pemantau yang mendafarkan diri ke KPU sebagai lembaga pemantau, berbeda dengan Pemilu serentak 2019 sesuai UU No 7 Tahun 2017 tantang Pemilihan Umum mengamanatkan lembaga pemantau mendaftarkan dan terakreditasi oleh Bawaslu, sebanyak 8 (JPPR, Perludem, GMKI, Laskar Anti Korupsi Indonesia, dan Pijar Keadilan, KIPP, KAMMI, dan Universitas NU) lembaga pemantau yang mendaftarakan diri dan terakreditasi oleh Bawaslu.

Jika diperhatikan hampir semua lembaga pemantau masih menggunakan metode konvensional.

Di tengah berkembangnya era digital, proses reformulasi gerakan pemantauan harus dilakukan dengan harapan dapat meningkatkan animo pemantauan masyarakat. Menjadi pemantau pemilu merupakan suatu bentuk aktifitas yang sangat menyenangkan.

Karena memantau adalah aktiftas melihat, menilai, serta mengumpulkan informasi dan data dalam setiap proses tahapan pelaksanaan Pemilu. Aktiftas memantau sangat mudah dan menyenangkan, karena dengan memanfaatkan perkembangan digitalisasi masyarakat sangat dengan mudah berpartisipasi sebagai pemantau pemilu melalui media sosial.

Pemantauan dengan metode berbasis media sosial dapat menjadi jalan keluar terhadap tantangan aktivtas pemantauan untuk memperluas cakupan keteribatan banyak pihak. Kenapa harus media sosial.

rakteristik yang bercirikan; a) Partisipasi; Media sosial mendorong kontribusi dan umpan balik (feedback) dari siapapun. Setiap orang dapat mengaksesnya secara bersama-sama berdasarkan kesadaran sendiri;

b) Keterbukaan; Setiap kata, ungkapan, informasi yang dipublikasikan berpeluang untuk ditanggapi orang lain karena pada dasarnya media sosial bersifat terbuka bagi siapa saja;

c) Saling terhubung; Sifat media sosial adalah berjejaring. Media sosial dapat melakukan percakapan dua arah atau lebih, antara satu dengan lainnya akan saling terhubung.

Kelebihan media sosial terletak pada link-link yang menghubungkannya dengan berbagai situs antar media sosial maupun perorangan
Pemantauan dapat memicu kesadaran dan pendidikan politik bagi pemantau khususnya dan orang disekiling pemantau pada umumnya. Pemantau dapat membedakan yang mana pelanggaran dan yang bukan pelanggaran.

Bila mana pemantau menemukan adanya pelanggaran harus melaporkan kepada lembaga pengawas, misalnya: dalam hal pemasangan alat peraga di tempat terlarang seperti di jalan protokeler atau di rumah sakit dan tempat pendidikan. Laporan pelanggaran tersebut bisa dilaporkan langsung kepada lembaga pengawas atau mentwit dan memension akun lembaga pegawas untuk segera mencopot alat peraga tersebut.

Dan bila mana pemantau tidak mau melaporkan pemantau juga akan bersikap untuk mengatakan tidak pada pelanggaran yang terjadi. Misalnya apabila ditawari uang, pemantau akan menolaknya atau menerima barang dan uang tersebut sebagi bukti adanya politik uang.

Dengan adanya pemantaun juga dapat meningkatkan netralitas penyelenggara Pemilu, dari aspek kehadirannya terjadilah meningkatkan netralitas para penyelenggaranya. Hal ini terjadi di penyelenggara Pemilu di tingkat TPS.

Jumlah pengawas Pemilu di tingkat desa tidak memadai dengan jumlah TPSnya, sehingga pemantau kita mengisi ruang kosong yang tidak diawasi oleh pengawas. Karena Bawaslu tahu betul pelanggaran ada di setiap TPS, maka dia mengajukan semua TPS ada pengawasnya. Atas dasar prinsip aktifitas pemantauan yang dilakukan punya pengaruh terhadap berkurangnya pelanggaran atau kecurangan.

Dengan adanya pemantauan juga dapat meningkatkan kinerja dan netralitas penyelenggara Pemilu meskipun tidak bisa di hitung secara kuantitatif.

No More Posts Available.

No more pages to load.