( catatan kecil piala dunia dan hasil pilkada)
Oleh : saifuddin al mughniy
OGIE Institute Research and Political Development.
Topik tersebut diatas tentu bukanlah semacam binatang raksasa seperti dinosourus dan penemuan ikan raksasa dari Amazone yang heboh di media sosial dan pemberitaan lainnya. Bukan pula sosok manusia yang memiliki paras yang serem dan postur tubuh yang tinggi semampai. Tapi topik raksasa lebih diakronimkan pada fenomena “Piala dunia dan hasil Pilkada serentak 2018”. Secara mengejutkan pada putaran di Grup F piala dunia 2018 wakil Asia yakni Korea Selatan dengan dramatis mempermalukan juara dunia 2014 lalu Jerman dengan skor 2 nol. Tentu Hittler bersedih mendengar berita kekalahan ini. Panser tak berkutik melawan kocekan anak asuh Shin Tae-Yong dengan gol yang dipersembahkan oleh Kim Yoong-Gwon dengan Son Heung-Min yang sukses mencatatkan sejarah Taegeuk Warriors atas kebengisan panser Hittler yang di asuh oleh pelatih Joachim Low. Pemberitaan di Berlin telah membunuh sang pelatih Jerman. Bagi Korea Selatan apakah ini mitos atau kenyataan ? Sebab diluar akal sehat atas kemenangan melawan adigdaya sepakbola dunia sekelas Jerman.
Dalam suasana demikian akan mudah kita tarik benang merah akan runtuhnya sang raksasa di erena rumput hijau. Rusia sebagai tuan rumah perhelatan empat tahunan ini. Dan sementara di belahan Asia lainnya seperti Indonesia justru sementara melakukan perhelatan politik lima tahunan di 171 daerah seluruh Indonesia. Dengan rincian 17 propinsi, 39 kota dan 115 kabupaten. Dan sulawesi selatan adalah satu diantaranya. Di beberapa daerah usungan partai besar pun mengalami kekalahan secara dramatis.
MITOSKAH ?
Nampak suasana politik semakin melampaui akal sehat. Partai politik sebagai jargon kekuasaan berfungsi membangun kesadaran politik justru tak dapat berbuat banyak untuk meyakinkan pada pemilihnya. Kekalahan para partai jawara di beberapa daerah termasuk pilgub sulsel seakan mengikuti kekalahan Jerman atas Korea Selatan. Pertanyaannya adalah apakah ini mitos ? Tentu memiliki jawaban yang sama tapi berbeda konteks. Kekalahan Jerman adalah sebuah kenyataan, filosofinya “bola itu bundar” dimainkan dengan sebelas orang, tentu kalah menang sangat ditentukan oleh skill dan kemampuan pelatih memainkan strategi. Dan sangat berbeda kekalahan paslon di kontekstasi politik itu memiliki dinamika yang panjang. Disana banyak pemain yang terlibat, bukan hanya didalam panggung, tetapi juga banyak pemain yang terlibat diluar panggung. Katakanlah hadirnya para “pemodal” untuk membiayai kampanye paslon yang didukungnya. Termasuk lembaga konsultan dan survey yang ikut membentuk opini terhadap pilihan rakyat.
Dalam sepak bola sportivitas semakin dijunjung tinggi, sehingga melahirkan kelas yang melegenda. Dalam politik sportivitas yang dijunjung tinggi yang menerima kemenangan dan kekalahan secara terhormat tentu akan melahirkan “sosok negarawan”. Namun pertanyaannya adalah adakah sportivitas dalam politik ?. Pertanyaan ini akan memunculkan beragam jawaban dan asumsi yang berbeda. Tergantung dinamika yang menyertainya. Sebab proses berpolitik sangat ditentukan oleh kekuatan undang-undang tak berlaku “Homo homoni lupus” siapa yang kuat maka ia menjadi pemangsa bagi yang lainnya.
Hukum rimba dalam politik tentu harus ditolak. Bahkan PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2014 keok dibeberapa daerah. Bahkan Golkar pun mengalami hal yang sama. Ini memberi isyarat untuk proses politik 2019 mendatang pileg dan pilpres. Golkar di sulawesi selatan khususnya sebagai lumbung suara partai yang berlambang pohon beringin ini dari pemilu ke pemilu selalu mendominasi pertarungan. Tetapi pilkada serentak kali ini Golkar mengalami kekalahan. Tentu ini fenomena baru dalam kontekstasi Golkar baik untuk ketokohan, pemilih, terlebih bagi trust publik terhadap partai itu sendiri. Dengan demikian habitus politik tak berlaku sebagai ukuran kemenangan calon. Dan hal ini dapat terlihat bagaimana perolehan suara calon yang memiliki habitus politik justru anjlok, bahkan diluar dugaan nomor urut 3 meraih angka fantastis di Palopo diangka 84 sekian persen, begitu pula di Gowa secara mengejutkan paslon Prof Andalam berhasil meraih suara diangka 24 sekian persen. Dan daerah selatan Bantaeng, Bukukumba dan Jeneponto rata-rata diangka 80 persen.
Fenomena ini cukup mengejutkan, diluar nalar politik, tetapi yang pasti ini adalah kemenangan rakyat, dan ini tanda untuk menjadi catatan bagi eksistensi partai politik menghadapi event politik 2019 mendatang. Sebab pilkada serentak 2018 akan menjadi acuan bagi partai politik dan kandidat presiden didalam melakukan “maping politik” atau pemetaan politik. Kemenangan yang tak terduga adalah tanda bahwa figurita begitu penting untuk dijual dipublik.
Sehingga tumbangnya para raksasa dari arena termasuk dari arena politik bukan “paradoks” tetapi sudah menjadi sebuah kenyataan dari fase “political of art”. Yakni seni me(main)kan peran. Inilah satu jawaban dari tesis Erich Froom yang menyebutkan bahwa “Political Trust” yakni seni merebut kepercayaan. Dan yang menang tentu mewakili kepercayaan publik didalam melanjutkan roda pemerintahan, sementara yang kalah bukan berarti gagal tetapi hanya mendapat keterpilihan publik yang lebih rendah dari pemenangnya. Karena politik adalah kerja strategi membangun okupasi terhadap rakyat. Bukan semata campaign yang penuh dengan janji. Kemenangan bukanlah eforia tapi kemenangan adalah beban moral kepemimpinan dalam melanjutkan amanah kerakyatan.
Dengan demikian demokrasi ditanah sulsel semakin memperlihatkan kualitasnya, termasuk hadirnya keempat kontestan adalah figur-figur yang memiliki kualitas kepemimpinan yang tak bisa diragukan. Sportivitas politik mereka junjung tinggi dengan jiwa ksatria dan terhormat. NH-AZIS, AGUS-TBL, NA-ASS, IYL-CAKKA sudah menghadirkan demokrasi yang bermartabat guna menjawab tantangan masa depan sulawesi selatan yang lebih kompleks. Dengan mengutip istilah dari Kuntowijoyo “Selamat tinggal mitos, dan selamat datang realitas”.
Maka pesan bijaknya adalah bahwa demokrasi dan politik serta dinamika yang menyertainya adalah bagian dari tradisi keluhuran yakni sipakatau, sipakalebbi, sipakainga, sebagai lapis kekuatan demokrasi di sulawesi selatan.
Ujungpandang, 28 juni 2018
Penulis, saifuddin al mughniy
OGIE Institute Research and Political Development. Dan penulis buku, diantaranya :
Politik Tanpa identitas, Kalimat Yang Tak Berpihak, Jatuhnya KATA-KATA, Tauhid sebagai paradigma politik, Membangun Ahlak Politik, Ketika Rakyat Harus Memilih. Pembangkangan Civil Society. Cinta dan Nyanyian Hujan (Antologi Puisi). Memungut Cinta di Atas Sajadah (Novel). Mata Kata (biografi). Ketika SYL Mulai GILA. Syair-Syair Pembebasan. Politik Kebangsaan. SYL, APPSI untuk NKRI. Puisi Pappasanta. SYL SWOT. Orbituari Demokrasi.
Pendiri ROEMAH LITERASI TITIK KOMA Indonesia. (*)