Oleh: Prof H Nasaruddin Umar
Di samping pengendalian pikiran, yang juga amat penting bentuk konkretnya ialah menahan mulut untuk tidak berbicara, apalagi jika pembicaraan itu menjurus kepada ajakan diri sendiri atau orang lain untuk berpaling meninggalkan kedekatan diri dengan Tuhan.
Kita bisa menyimak hikmah mengapa Allah tidak memerintahkan Maryam berpuasa kecuali menahan diri tidak berbicara sebagaimana firman-Nya, “Maka katakanlah, ‘Sesungguhnya aku bernazar untuk berpuasa karena Tuhan Yang Maha Pemurah maka aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini.’” (QS Maryam [19]: 26).
Puasa bicara atau diam salah satu resep untuk meraih ketenangan batin yang pada akhirnya menjanjikan ketakwaan sebagaimana tujuan puasa. Resep ini diajarkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Zakariya.
Saat itu, Nabi Zakariya dan istrinya tak pernah berhenti berdoa untuk memiliki anak meskipun keduanya sudah berusia lanjut. Dia bernazar, sekiranya bisa dikaruniai anak maka dia akan berpuasa bicara selama tiga hari, sebagaimana disebutkan dalam Alquran, “Zakariya berkata: Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda. Tuhan berfirman: Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakapcakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat.” (QS Maryam [19]: 10).
Akhirnya, doanya dikabulkan dan Nabi Zakariya pun menunaikan nazarnya. Puasa bicara ternyata bukan pekerjaan mudah bagi orang normal. Allah SWT pun mengingatkan agar manusia hati-hati soal bicara, sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” (QS al-Ahzab [33]: 70).
Dalam hadis Nabi disebutkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka hendaklah dia mengatakan yang benar atau lebih baik diam.” Nabi juga mengingatkan kita, “Sesungguhnya, dosa yang paling banyak dilakukan anak cucu Adam adalah pada lidahnya.” “Musibah itu terwakili melalui ucapan.”
“Sesungguhnya, dosa yang paling banyak dilakukan anak cucu Adam adalah pada lidahnya.” “Barangsiapa yang banyak bicara, banyak juga kekeliruannya. Barang siapa yang banyak kekeliruannya, banyak juga dosanya. Barangsiapa yang banyak dosanya, maka nerakalah yang paling tepat tempatnya”.
Kalangan sufi pernah mengatakan bahwa diam adalah keselamatan dan itulah yang esensial. Orang-orang masih memperselisihkan, mana yang lebih utama antara diam dan bicara. Yang lebih tepat sesungguhnya ialah masing-masing antara diam dan bicara memiliki keutamaan dibandingkan dengan yang lain tergantung pada situasi dan kondisinya. Diam lebih utama dilakukan pada situasi dan kondisi tertentu dan pada situasi lain justru bicara lebih utama.
Namun, tidak selamanya diam itu baik. Ada kalanya, seseorang harus dan wajib bicara, terutama menyuarakan kebenaran, sebagaimana sabda Nabi, “Katakanlah kebenaran itu meskipun pahit.” Basyar al-Hafi pernah mengatakan, “Jika suatu pembicaraan membuatmu terkagum-kagum, sebaiknya Anda diam saja. Dan jika diam justru membuatmu terkagum-kagum maka sebaiknya Anda angkat bicara.”
Puasa bicara termasuk juga dalam konteks penggunaan multimedia di dalam menyampaikan hal-hal khusus kepada orang lain. Penggunaan IT dalam menyampaikan maksud sesungguhnya juga merupakan bentuk lain dari bicara. Hanya bicaranya di dalam bentuk komunikasi nonverbal. Efek penyampaian pesannya bisa sama saja dengan penyampaian pesan dalam bentul oral atau visual. (*)