(M.NASIR DOLLO, KETUA YLBH SUNAN PAREPARE)
Silang pendapat para pakar atau ahli hukum tentang perkara paslon No. urut 2 (Danny-Indira) yang tersingkir sebagai perserta pilkada Makasar tahun 2018 kian tak berkesudahan bahkan merambat ditingkat nasional. Begitu pula halnya dengan para pemegang kekuasaan dilembaga/ badan yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan tindakan juga tak se-ia sekata, sikap ego antara para pihak kian menonjol hingga harus berhadap- hadapan. Hal tersebut menjadi preseden buruk dalam berhukum, berbangsa dan bernegara
Sungguh hasil yang sangat mustahil penyelesaian sengketa pilkada Makasar akan bermuara pada keadilan yang memberi manfaat bagi masyarakat , bangsa dan negara bila kepastian hukum itu sendiri masih menjadi teka- teki tentang keberadaannya ataukah kepastian hukum itu masih dipertanyakan untuk siapa?.
Dalam satu media on line di sebutkan bahwa ada 3 alasan kuat yang mendasar bagi KPU Makassar menolak melaksanakan putusan Panwas Makassar, kesimpulannya sebagai berikut :.
1-. Keputusan KPU Makassar No. 64/P.KWK/HK.03.1-Kpt/ 7371/ KPU-Kot/ IV/ 2018 merupakan tindak lanjut Keputusan MA NO. 250/ K/ TUN/ Pilkada/2018 dan tidak termasuk dalam pengertian TUN berdasarkan UU NO. 9 TAHUN 2004 perubahan UU NO .5 TAHUN 1986 pasal 2 huruf (e)..
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka dapat di bangun suatu konstruksi hukum sebagai berikut :
-.Semua pihak mutlak konsisten dalam berhukum khususnya badan/ lembaga negara termasuk KPU Makassar. Bila KPU Makassar berdasar berdasar UU NO. 9 TAHUN 2004 pasal 2 huruf (e), maka KPU Makasar juga harus konsisten dengan pasal 53 ayat ( 1) Undang-Undang sama, sebagai berikut :
” Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh putusan TUN dapat mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwewenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan dan /atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan /atau rehabilitasi”.
Tentu timbul pertanyaan adakah keputusan TUN yang dikeluarkan saat itu oleh badan TUN yang mengakibatkan kepentingan pihak lain atau PÁSLON lain, sehingga perkara sengketa pilkada tersebut diproses PT-TUN Makassar dan berlanjut ke-MA. Sehingga keluar putusan MA. No. 250 tersebut yang mengakibatkan paslon NO. URUT 2 ( DiAmi) tersingkir sebagai peserta pilkada. Bukankah tidak ada putusan TUN yang dikeluarkan yang sifatnya merugikan paslon lain.
Tentu timbul pertanyaan mengapa KPU melaksanakan putusan PT-TUN dan MA térsebut sedangkan perkara tersebut diluar kewenangan PT-TUN untuk diteruskan ke-MA dan hal tersebut bertentangan dengan pasal 53 ayat 1 UU NO. 9 TAHUN 2004.
Makna dari keputusan TUN yang merugikan kepentingan pihak lain (paslon lain) adalah Keputusan yang mengubah posisi, kedudukan, atau status semula sebelum dikeluarkan nya putusan TUN tersebut yang sifatnya merugikan.
Bukankah setelah pemeriksaan perkara Danny Pomanto di Panwas tentang pasal 71 ayat 3 UU NO. 10 TAHUN 2010 tidak ada keputusan TUN yang dikeluarkan yang sifatnya merubah keadaan atau status paslon NO. 1 maupun Paslon NO. 2., kedua paslon tersebut tetap sebagai peserta pilkada atau tidak perubahan dari keadaan semula sebelum adanya pemeriksaan tersebut.
Bila KPU Makassar bersikukuh bahwa keputusan yang dikeluarkan dengan No. 64 tersebut, bukan merupakan bagian dari pengertian TUN pasal 2 huruf (e) UU NO. 9 TAHUN 2004 yang dapat dimintai pembatalan .
Tetapi hal mendasar sungguh sungguh patut dipertimbangkan adalah prinsip berhukum itu sendiri bahwa proses berhukum yang sesuai syarat prosedural (menyimpang dari ketentuan hukum) adalah tidak sah atau batal demi hukum.
Bukankah hakekat yang sesungguhnya dalam berhukum adalah demi tegaknya hukum itu sendiri dalam mewujudkan perasan keadilan masyarakat. Di sisi lain bukan Keputusan MA NO. 250 tersebut yang dibatalkan oleh Panwas melainkan keputusan KPU NO.64 tersebut.
Di lain sisi, hal yang begitu mengherankan keputusan KPU Makassar No. 35 tersebut telah dibatalkan melalui jalur peradilan TUN yang semestinya tidak patut terjadi. Semestinya setelah adanya kesimpulan hasil pemeriksaan panwas bahwa Danny Pomanto tidak terbukti melanggar ketentuan pasal 71 ayat 3 UU NO.10 TAHUN 2016 maka perkaranya hanya berakhir sampai disitu saja dan tidak patut dilanjutkan oleh pihak lain Ke PT-TUN karena hal itu menjadi kewenangan Bawaslu/panwas. Lihat pasal 144 ayat 1 UU NO. 10 TAHUN 2016 sebagai berikut ” putusan Bawaslu/panwas penyelesaian sengketa pemilihan merupakan keputusan terakhir dan mengikat “.
Bila KPU Makasar konsisten pada UU NO. 9 TAHUN 2004 perubahan UU NO. 5 TAHUN 1986. Maka putusan PT- TUN Makassar dan putusan MA NO. 250 tersebut tentu tidak pernah dilaksanakan. Bukan landasan hukum atau dasar hukum sengktta tersebut untuk di periksa, diadili dan diputuskan PT-TUN Makassar adalah menyimpang dari ketentuan pasal 53 ayat (1) UU NO. 9 TAHUN 2004 perubahan UU NO.5 TAHUN 1986 bahwa yang berhak mengajukan gugatan adalah pihak yang menanggung kerugian akibat di keluarkannya putusan TUN.