MACCANEWS– Masih ingat hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang menyebut Ahok tak punya lawan sebanding? Yah, lembaga survei yang diduga punya kedekatan dengan Partai Golkar, kembali melansir data untuk Pilkada Sulsel.
Di survei Pilkada Sulsel, lembaga ini mengunggulkan Nurdin Halid di saat kandidat ini lagi diingatkan oleh publik tentang jeratan masa lalunya yang pernah menjadi terpidana korupsi. Terlepas tentang benar tidaknya metodologi yang digunakan dalam merekam prilaku pemilih, namun ada beberapa keanehan dari laporan survei lembaga ini.
Pertama, pengambilan data tergolong lama. Padahal untuk ukuran Pilgub Sulsel, maksimal sampai 6 hari. Sedangkan survei CSIS memakan waktu hampir 30 hari dengan melibatkan sekira 898 responden. Untuk ukuran survei nasional dengan melibatkan responden jauh lebih besar di semua provinsi saja, durasi waktunya tak sampai 30 hari.
Kedua, pengenalan kandidat tidak ada yang mencapai 70 persen. Padahal di beberapa hasil survei lembaga lain, justru rata-rata di atas 70 persen untuk kandidat gubernur. Lainnya, Pilgub kini tersisa satu bulan lebih lagi, sehingga pengenalan kandidat gubernur diyakini di atas 70 persen.
Ketiga, dalam eksporasi masalah di Sulsel, banyak yang tidak dimasukkan. Seperti soal infrastruktur. Padahal, item ini selalu menjadi harapan besar publik Sulsel.
Keanehan lainnya yang sangat keliru menyebut Ichsan Yasin Limpo-Andi Mudzakkar maju diusung oleh Partai Demokrat. Kenyataannya, pasangan ini justru melalui independen. Pertanyaannya? Apakah data ini dipaksakan seperti saat berusaha menyebut Ahok di Pilkada Jakarta tak punya lawan sebanding? Publik Sulsel bisa menyimpulkan sendiri.
Tapi sebelum muncul data survei ini, kubu NH-Aziz sudah menggembor-gemborkan unggul survei. Sehingga diduga kuat, jika survei CSIS memang punya afiliasi tersendiri. Apalagi kalau dikaitkan dengan kedekatan Golkar.
Menanggapi hal itu, Pakar Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Andi Haris menjelaskan, pada umumnya, kandidat menjadikan lembaga survei untuk meningkatkan citranya di masyarakat. Bahkan, terkadang ada beberapa lembaga survei yang berafiliasi pada kandidat tertentu untuk menciptakan opini-opini di masyarakat.
“Terus terang saya tidak terlalu percaya dengan survei-survei seperti itu. Pengalaman dari Jakarta, salah satu lembaga survei itu masuk papan atas, ada salah satu pertanyaan yang seakan-akan mengarahkan kita ke salah satu calon tertentu. Itu sangat tidak obyektif, soal survei naik atau tidak saya rasa masyarakat sudah tidak terlalu yakin dengan itu. Karena orang bisa saja mengatakan hal itu bisa saja pesanan,” kata Andi Haris saat dimintai tanggapannya, Selasa (16/5/2018).
Meskipun kandidat menggunakan lembaga survei sebagai bahan jualan ke masyarakat, kata Andi Haris, hal itu akan kurang efektif. Lantaran masyarakat saat ini lebih kritis dalam melihat keadaan dan kondisi saat ini. Apakah hasil survei yang dikeluarkan sesuai dengan rekam jejak dari kandidat itu sendiri.
“Ini umum sifatnya, Survei sekarang ini tidak terlalu memberi pengaruh signifikan terhadap pemilih. Karena pemilih sekarang semakin kritis dan semakin tahu. Walaupun seseorang calon di posisikan di atas tapi kalau selama ini orang melihat kinerjanya tidak becus atau tidak baik itukan janggal. Kecuali memang trackrecordnya baik itu bisa saja, orang bisa mengaitkan dengan kenyataan yang ada,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, hasil rilis survei juga sangat tergantung dengan metodologi pengambilan data di masyarakat. Karena memang menurutnya ada banyak model pengambilan data yang digunakan oleh lembaga survei dan semuanya bisa saja menghasilkam data-data yang berbeda setiap lembaga survei.
“Tapi memang tergantung dari metodologi yang digunakan, bagaimana teknik pengambilan sampelnya, siapa respondennya. Nah itu yang tidak kita tau, apakah dia turun dilapangan atau bagaimana. Karena itu mereka tidak publikasi. Itu tidak bisa memang kita anggap sebagai sesuatu yang memiliki tingkat realitas yang tinggi dalam mempengaruhi responden,” tandasnya. (*)