Oleh: M. NASIR DOLLO (KETUA YLBH SUNAN PAREPARE 10 MEI 2018)
Sesungguhnya hakekat dalam berhukum adalah terwujudnya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarakat, Hal ini seirama dan searah dengan cita cita luhur bangsa ini yang tertuang dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 yaitu terwujud rasa kemanusian, keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat bangsa ini.
Instrumen untuk mewujudkan cita cita luhur bangsa ini begitu memadai tapi bila pihak pihak berwewenang dalam mengambil keputusan kurang profesional dan proporsional, maka tiada yang tersisa kecuali beban penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat, perasaan kemanusian dan keadilanpun kian terkoyak- koyak.
Realitas kehidupan yang tak mungkin dinafikan telah terukir dengan nyata ditangan orang orang yang terampil, sekalipun itu hanya sampah yang selama ini dinilai sebagai sumber penyakit dapat juga diolah menjadi bahan yang bernilai tinggi seperti kantong plastik diolah menjadi pakaian yang indah dan sampah plastik diolah menjadi bahan bakar seperti minyak tanah, dan premium . Jadi tidaklah heran bila seorang pakar hukum yang nama Tarvene berkata bahwa seburuk apapun suatu peraturan perundang undangan bila moral dan kemampuan aparatnya memadai maka hasilnyapun akan baik.
Instrumen dalam berhukum cukup gamblang tertuang dalam Undang Undang NO. 12 TAHUN 2011 pasal 7 ayat 1 Tentang jenis dan hirarki peraturan perundang undang sebagai berikut :
a-, UU DASAR 1945
b-. KETETAPAN MPR
c-, UU / PERPU
d-. PP
e-, PEPRES
f-. PERDA
Peraturan perundang undangan tersebut diatas menjadi landasan hukum yang sah dalam tata kelola pemerintahan bangsa dan negara ini.
A. Kaedah Hukum,
Melaksanakan Perintah hukum
Bukan Merupakan Pelanggaran Hukum.
Kaedah hukum yang sifatnya perintah adalah merupakan kewajiban untuk melaksanakan sesuatu tindakan atau perbuatan yang sudah ditentukan, mengabaikan perintah hukum tersebut berarti melanggar hukum. Sedangkan larangan adalah keharusan yang sifatnya mutlak agar tidak melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan yang sudah digariskan, melampui larangan itu berati melakukan pelanggaran hukum.
Kaidah hukum antara perintah dan larangan adalah merupakan kaidah hukum yang saling menafikkan antara satu dengan lain, dan tidak mungkin dilakukan pada waktu yang bersamaan. Dalam logika hukum , hubungan tersebut dikenal dengan istilah kontraris.
Prinsip berhukum bahwa melaksanakan perintah hukum bukan merupakan perbuatan melanggar hukum bukan saja berlaku di negara kita, tapi prinsip berhukum tersebut berlaku secara universal diseluruh negara. Tanpa adanya prinsip berhukum tersebut maka eksistensi dan esensi hukum itu tak pernah ada, fungsi hukum untuk mewujudkan ketertiban , justeru kekacauan yang merajalela dan tujuan berhukum untuk menciptakan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat hanya sebatas fatamorgana belaka.
Betapa tidak semberautnya dunia hukum ini? Seandainya tidak ada jaminan kepastian hukum tentang prinsip, Melaksanakan Perintah hukum Bukan merupakan perbuatan melanggar hukum . Bahkan bukan saja dunia hukum yang semberaut tetapi tata kelola pemerintahan dalam berbangsa dan bernegara jadi porak poranda. Sebab tidak ada lagi polisi mau mengeksekusi terpidana mati karena memenuhi unsur pasal 340 KUHP , (pembunuhan berencana) , tidak ada pegawai lapas mau mengkerangkeng / meungurung terpidana karena memenuhi unsur penyanderaan dan para dokter tentu tidak mau lagi melakukan tindakan operasi kepada pasien karena memenuhi unsur pasal 354 KUHP (penganiyaan berat/kematian).
Jadi sungguh tepat prinsip hukum bahwa melaksanakan perintah hukum bukan merupakan perbuatan melanggar hukum demi untuk menjaga eksistensi dan esensi hukum itu sendiri dan sebagai perlindungan bagi seluruh masyarakat khususnya pemegang kekuasaan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
B. PERDA MERUPAKAN DASAR HUKUM
Mengingat perda merupakan salah satu dasar hukum yang sah untuk melakukan perbuatan hukum sesuai yang tertuang dalam UU NO.12 TAHUN 2011 pasal 7 ayat 1 huruf (f). Jadi terang dan jelas bahwa melaksanakan perintah perda bukan merupakan perbuatan melanggar hukum atau bertentangan dengan hukum. Hal tersebut dikukuhkan oleh putusan Mahkamah Agung No. 536 K/PID/2004 dalam pertimbangan hukumnya bahwa melaksanakan perintah perda yang sah bukan merupakan perbuatan yang bertentangan hukum atau melawan hukum. Di lain hal, prinsip sifat melawan hukum materiil yang fungsinya negatif bahwa :
a-, Perbuatan yang tidak merugikan merugikan keuangan negara.
b-, Tidak menguntungkan diri sendiri (memperkaya diri sendiri).
c-, Untuk kepentingan masyarakat (umum).
maka perbuatan tersebut tidak dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan atau melanggar hukum.
Sekarang yang menjadi pertanyaan mendasar apakah pembagian smartphone tersebut oleh walikota Makasar :
1-. Mempunyai dasar hukum yang sah
2-. Apakah Danny Poman sebagai walikota Makasar mendapatkan keuntungan pribadi (memperkaya diri)
3-. Apakah ada kerugian negara yang ditimbulkan.
4-. Siapakah berkepentingan dengan pembagian smartphone tersebut.
Pembagian smartphone oleh walikota Makasar adalah berdasarkan perintah hukum yang tertuang dalam RPJMD DAN PERDA APBD TAHUN 2016, artinya 2 tahun sebelum pemilihan dan sama sekali tidak ada indikasi terjadinya kerugian negara sehubungan pembagian smartphone tersebut. Tentu kita menyadari semua bahwa dengan adanya pembagian smartphone tersebut kepada RW/RT adalah sangat membantu meningkatkan pelayan masyarakat yang prima, mudah , murah dan cepat. Jadi sungguh sangat membingungkan kita semua bila kebijakan walikota Makasar membagikan smartphone kepada RW/RT DINILAI sebaga perbuatan melanggar hukum.
Bila pelaksanaan RPJMD dan PERDA APBD Makasar dinilai bertentangan dengan Peraturan perundang undangan lain seperti hanya Undang Undang tentang pilkada No.10 tahun 2016 atau bertentangan dengan kepentingan umum. Maka gubernur sebagai perwakilan pemerintah pusat, tentu sudah membatalkan RPJMD dan PERDA APBD tersebut sejak tahun 2016, atau membatalkan sebelum dilaksanakan . Hal tersebut sangat jelas diatur dalam Undang Undang tentang pemerintahan daerah NO. 23 TAHUN 2014 pada pasal 315 .
Berdasarkan hal tersebut diatas adalah menjadi pedoman yang terang dan jelas bahwa pelaksanaan RPJMD DAN PERDA APBD tersebut adalah sah dan dalam pelaksanaannya tidak bertentangan dengan hukum , baik pembagian smartphone kepada RE/RT maupun pengangkatan tenaga sukarela menjadi tenaga kontrak pemda Makasar.
Perda APBD pada dasarnya merupakan penjabaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Baik RPJMD maupun perda APBD adalah menjadi beban tugas dan kewajiban bagi pemerintah daerah yang harus dipertanggung jawabkan pelaksanaannya. Jadi tergambar dengan terang dan jelas bahwa melaksanakan perintah RPMJD, PERDA atau peraturan lain yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan tersebut tidak dapat dikonotasikan dengan kepentingan individu tertentu (petahana) karena hal tersebut sudah menjadi tugas kewajiban dan tanggung jawab pemda untuk melaksanakan. Justeru pemda dapat dinilai melanggar hukum bila tidak melaksanakan kegiatan tersebut. Artinya siapapun yang menjadi kepala pemerintahan daerah, baik ia menjadi petahana pada pemilihan berikut atau tidak , maka ia wajib melaksanakan kegiatan tersebut. Beban tugas kewajiban yang harus diselesaikan akan mengakibatkan larangan itu tidak mengikat atau menghilang larangan itu sendiri.
C. PEMBAGIAN SMARTPHONE DAN PENGANGKATAN TENAGA KONTRAK.
Menurut keterangan saksi fakta Zainal Beta dari fraksi partai PAN dan Abdi Asmara dari fraksi partai Demokrat bahwa baik pembagian smartphone kepada semua RW/RT dimakasar maupun pengangkatan tenaga sukarela menjadi tenaga kontrak adalah merupakan kesepakatan bersama sembilan ( 9) fraksi dengan perintah sejak tahun 2016 yang lalu yang tertuang dalam RPJMD yang kemudian ditindak lanjuti dengan perda.
D-. Undang Undang NO. 10 TAHUN 2016
pasal 71 ayat 3 sebagai berikut :
“Gubernur, wakil gubernur, bupati , wakil bupati, walikota, wakil walikota dilarang menggunakan kewenangan program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih”.
Undang Undang tersebut diatas harus dimaknai sebagai berikut :
1-.kewenangan kepala daerah dalam membuat program kegiatan diarahkan untuk kepentingan dirinya atau orang lain dalam pemilihan. Artinya kewenangan program kegiatan itu bukan untuk kepentingan pemerintah daerah dan masyarakat.
2-. Larangan menggunakan kewenangan program kegiatan 6 bulan sebelum penetapan paslon. Artinya kewenangan program kegiatan tersebut sifatnya baru diadakan, bukan program kegiatan yang telah ada sebelumnya atau bukan atau bukan penggunaan kewenangan program kegiatan lanjutan. Sungguh sungguh suatu penafsiran yang sangat keliru bila semua kewenangan program kegiatan kepala daerah dilarang, karena hal itu membuat pemda jadi pakum atau mandek tanpa kegiatan sama sekali. Hal itu mustahil undang undang menghendaki seperti itu.
Bila kita hubungkan makna pasal 71 ayat 3 undang undang No. 10 TAHUN 2016 dengan keterangan saksi fakta dari fraksi PAN zainal Tebe dan Abdi Asmara dari fraksi Demokrat bahwa pembagian smartphone dan pengikatan tenaga sukarela menjadi tenaga koñtrak adalah kesepakatan bersama antara DPRD dengan pemda sejak pada tahun 2016 yang lalu dan hal tersebut tertuang dalam RPJMD (PERDA).
HAL tersebut diatas secara terang , jelas dan lengkap terdapat fakta hukum sebagai berikut:
1-. Penggunaan kewenangan program kegiatan tentang pembagian smartphone dan pengangkatan tenaga kontrak telah terjadi sejak tahun 2016. Adapun pembagian smartphone dan pengangkatan tenaga kontrak pada tahun 2017 hal pelaksanaan teknis belaka atau hanya sebatas pengimplementasian kewenangan program kegiatan yang telah ada pada tahun 2016 yang lalu.
2-. Inisiator program pengangkatan tenaga sukarela menjadi tenaga kontrak adalah DPRD sejak tahun 2008 yang lalu. Jadi bukan program walikota Makasar , jadi sangat naif dinilai sebagai program walikota untuk kepentingan pemilihan (petahana).
3-. Baik pembagian smartphone maupun pengikatan tenaga kontrak adalah menjadi kebutuhan pemda Makasar yang mendasar guna meningkatkan pelayanan masyarakat yang prima, cepat, tepat dan berdayaguna.
4 -.Bila keterangan saksi fakta dihubungkan dengan ýurisprodensi tetap putusan MA NO.536.K/PID/ 2004 dalam pertimbangan hukumnya bahwa “melaksanakan perintah hukum, bukan merupakan perbuatan melanggar hukum atau bukan perbuatan bertentangan dengan hukum”. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pembagian smartphone dan pengangkatan tenaga kontrak oleh walikota Makasar bukan merupakan perbuatan melanggar / bertentangan dengan hukum, karena hal tersebut didasarkan pada perintah perundang undangan (perda RPJMD) tahun 2016 dan PERDA APBD TAHUN 2017.
5-.Peristiwa pembagian smartphone kepada RW/ŘT dan pengangkatan tenaga kontrak , bila dihubungkan dengan sifat melawan hukum yang fungsi negatif yang telah dianut dalam sistem hukum kita. Maka tindakan walikota Makasar membagikan smartphone dan pengangkatan tenaga kontrak , tidak patut dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan/ melanggar hukum, karena hal tersebut tidak terdapat kerugian negara, walikota Makasar tidak memperkaya diri sendiri dan semata mata perbuatan tersebut untuk kebutuhan pemda Makasar dan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut diatas , maka walikota Makasar ( petahana) paslon NO. 2 tidak sepatutnya pencalonannya dibatalkan sebagai peserta pilkada makasar tahun 2018 karena dipandang melanggar undang undang NO. 10 TAHUN 2016 Pasal 71 ayat 3. Demi menjunjung tinggi rasa kemanusian , keadilan dan kepastian hukum , paslon NO. 2 (DiAmi) dikabulkan gugatannya menjadi perserta pilkada Makasar tahun 2018.