‘Perempuan Penebar Pesan Damai’

oleh
oleh
‘Perempuan Penebar Pesan Damai’

Oleh: Julie T. Mangkusuwignyo

“Dan siapakah yang lebih banyak  dapat berusaha memajukan kecerdasan budi itu. Siapakah yang dapat membantu mempertinggi derajat budi manusia?  Ialah perempuan, ibu, karena pada haribaan si ibu itulah manusia itu mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali, oleh karena di sanalah pangkal akal itu belajar merasa, berpikir, berkata“ –  RA. Kartini

Dalam sebuah kesempatan mengunjungi museum rumah tinggal Raden Ajeng (RA) Kartini di Rembang sekaligus berziarah ke makamnya di Kecamatan Mantingan, waktu seolah berhenti saat melihat ruang tidur dan meja kerja Kartini. Pikiran pun melayang ke masa silam. Membayangkan di kota kecil di pesisir utara pulau Jawa, bm lahir buah pikiran progresif yang luar biasa dari seorang perempuan muda usia duapuluh tahunan, di tengah tingginya tembok adat yang mengekang.

Tulisan-tulisan tangan buah pikir Kartini, begitu kritis, cerdas, visioner, progresif sekaligus mendalam secara spiritual. Buah pikiran yang bahkan untuk saat-saat ini masih relevan untuk diterapkan. Tulisan tulus dari hati yang mendalam hasil perenungan jiwa seorang perempuan muda bernama Kartini. Tentang gagasan, potensi dan peran perempuan, sekaligus berisi tentang cita-cita, doa, mimpi dan harapan. Meski Kartini tidak menikmati hasil dari pemikirannya, tapi  cita-cita luhurnya terwujud melampaui batas zaman. Kitalah perempuan Indonesia di  masa sekarang yang merasakan apa yang selama ini diperjuangkan Kartini.

Memajukan kecerdasan budi, mempertinggi derajat budi manusia. Itulah peran mulia kaum perempuan yang sesungguhnya, menurut Kartini.  Bayangkan betapa sedihnya Kartini kalau melihat ada kaum perempuan Indonesia kini yang terlibat kasus korupsi dan terpaksa ditahan KPK. Begitu pula yang ditahan polisi karena menebarkan kebencian, atau juga terjerat kasus narkoba. Ada ibu rumah tangga, birokrat, PNS, bahkan guru dan dosen yang seharusnya mengajarkan keteladanan, terlibat kasus hukum akibat nafsu menebarkan kebencian. Bukankah fitrah wanita adalah identik dengan kelembutan?  Berbagai syair, lagu  dan puisi sejak berabad-abad silam tercipta oleh pujangga untuk  menuliskan bagaimana perempuan dipuja karena keindahannya dan kelembutannya. Sulit membayangkan, bagaimana seorang perempuan menanamkan rasa cinta dalam mendidik anak dan keluarganya apabila di hatinya sendiri terpelihara rasa benci yang menyala.

Di era digital saat ini, masifnya penggunaan media sosial merupakan keniscayaan. Segala informasi dalam hitungan detik begitu mudah disebarluaskan, termasuk maraknya hoax. Pengguna media sosial di Indonesia dari kalangan perempuan termasuk tinggi. Ditambah lagi dengan setumpuk kegiatan, mulai arisan sampai pengajian. Perempuan jelas memiliki potensi yang teramat besar dalam hal menebar pesan melalui peer group-nya. Salah satu pesan yang cukup sering dilontarkan adalah pesan para Ibu agar pendidikan budi pekerti dan nilai-nilai Pancasila, yang terkikis akibat penggunaan media aosial yang tak terkendali, kembali digalakkan.

Majelis Ulama Indonesia ( MUI) sendiri  sudah mengeluarkan fatwa nomor 24 tahun 2017 tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial dan mengharamkan para pembuat dan penebar fitnah, hoax, berikut ujaran-ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah persatuan umat. Demikian pula UU ITE Pasal 28 dengan jelas melarang setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan ujaran kebencian dan permusuhan dengan berbasis isu SARA. Mengenai hal ini sepertinya perlu adanya sosialisasi yang lebih luas lagi, karena bisa jadi masih banyak mereka yang di luar sana belum tersampaikan mengenai risiko hukum yang harus dihadapi apabila turut serta menebarkan narasi kebencian.

Di tengah maraknya situasi yang penuh sesak informasi dan sulit membedakan antara hoax dan kebenaran, maka peran perempuan sejati semakin dibutuhkan. Yaitu perempuan yang sejatinya perempuan, yang mengaktifkan rasa, naluri kepekaan dan kelembutan hati. Saat tombol rasa terdalam seorang perempuan diaktifkan, tiada lain yang ditemukan selain cinta, fitrah Arrahman yang diberikan Allah SWT kepada setiap insan. Kalau di zaman old Kartini berjuang dengan tulisan dan semangatnya yang menginspirasi, kini saatnya Kartini zaman now tampil memberi arti dan kontribusi positif pada negeri ini.

Nusantara memanggil srikandi-srikandi negeri untuk turut berjuang dan peduli. Peduli dengan minimal menahan diri agar tidak mudah terprovokasi, menyaring dalam-dalam setiap informasi yang masuk dengan bijak. Lalu hanya memilih menebarkan pesan positif yang bermanfaat dan menginspirasi. Berjuang untuk turut serta memelihara kedamaian negeri ini dan peduli akan masa depan bangsanya dan anak-anak. Perempuan sejati adalah perempuan yang senantiasa membawa kedamaian, membangkitkan kesejukan dan menebarkan pesan kebajikan.

Hanya perempuan yang di hatinya penuh oleh cinta dan kasih, otomatis berperilaku dan berucap tanpa kebencian. Pribadi yang penuh cinta otomatis mencintai hidup dan kehidupan, cinta terhadap sesama, mencintai alam semesta dengan segenap isinya. Mereka yang penuh kasih otomatis akan saling memelihara dan senantiasa berpikir damai, menjaga keseimbangan semesta dan  tak akan melakukan kekerasan apalagi turut menebarkan kebencian. Selamat Hari Kartini perempuan-perempuan tangguh, penebar pesan damai. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.