Utang, Potensi Kanker yang Menggerogoti Perekenomian Nasional

oleh
Utang, Potensi Kanker yang Menggerogoti Perekenomian Nasional

MACCANEWS-  Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) MPO merilis hasil kajian terkait kondisi utang yang saat ini ramai diperbincangkan oleh publik.

Ketua Komisi Ekonomi PB HMI, Muhibudin Ahmad Al Muqorobin mengungkapkan, saat ini pemerintah terus berusaha meyakinkan publik bahwa utang yang dikelola dengan baik akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Hal ini pun seringkali diperkuat dengan penjelasan bahwa utang yang dimiliki Negara akan digunakan untuk membangun infrastruktur. Apalagi selama ini Pemerintah beralasan bahwa utang Pemerintah masih tergolong aman karena masih berada dikisaran 29,4% terhadap PDB pada tahun 2017.

Angka tersebut jauh dibawah standar yang dipersyaratkan UU Keuangan Negara Tahun 2003 yakni 60%. Hal tersebut dipandang masih aman, meski persentase tersebut konsisten terus naik sejak tiga tahun terakhir.

“Tetapi yang mesti diingat bahwa sejak tahun 2015 hingga tahun 2017, Pemerintah telah menambah utang tidak kurang dari Rp777 triliun. Bahkan dalam rencana APBN 2018, Pemerintah berniat untuk menambah utang kembali sebanyak Rp427 triliun. Hal ini berarti, utang Pemerintah akan bertambah sebanyak Rp1.204 triliun dalam empat tahun terkahir,” papar Muhib dalam Keterangannya, Jumat (13/4/2018).

Jika diakumulasikan dengan jumlah utang sebelumnya, total utang Pemerintah di akhir 2018 diproyeksikan mencapai Rp4.341 triliun dari angka saat ini Rp4.034,8 triliun. Angka tersebut akan terus bertambah di tahun yang akan datang mengingat Pemerintah sangat agresif terhadap pencarian sumber pendanaan APBN yang berasal dari utang.

Namun demikian, lanjut Muhib, apologi Pemerintah mengenai produktivtias utang perlu diuji. Setidaknya ada beberapa hal dapat dikaji yakni, Pertama, dalam APBN 2018, Pemerintah menambah jumlah pengeluaran belanja pegawai sebesar Rp35 tiliun dimana pada tahun sebelumnya, nilai belanja pegawai mencapai Rp331 triliun.

“Besarnya kenaikan anggaran belanja pegawai tersebut ternyata tidak sebanding dengan besaran kenaikan belanja di sektor infrastruktur yang hanya naik sebanyak Rp20,2 triliun pada tahun 2018 sehingga nilai belanja Pemerintah disektor infrastruktur menjadi Rp410,4 triliun,” tutur Muhib.

Kedua, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tiga tahun terakhir ternyata tidak pernah jauh dari angka 5%. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi ternyata lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan utang. Fakta tersebut menegaskan bahwa multiplier effect yang ditimbulkan dari utang Pemerintah tidak optimal.

Ketiga, naiknya pembayaran bunga utang sebanyak Rp30 triliun yang menyebabkan pembayaran bunga utang pada tahun 2018 sebanyak Rp236,6 triliun (16,2% dari APBN 2018). Kenaikan tersebut memberikan gambaran bahwa tingginya pembayaran bunga utang menjadi beban berat bagi negara untuk mengelola anggaran dengan baik.

Selain itu, tersntera, neraca pendapatan primer yang masih bernilai negatif menunjukan bahwa Pemerintah harus berutang kembali untuk dapat membayar utang yang dimiliki. Pada tahun yang akan dating, lubang utang yang diharus digali Pemerintah dimungkinkan akan lebih dalam.

“Beberapa catatan terkait dengan pengelolaan utang Pemerintah tersebut menunjukan bahwa utang yang selama ini digadang-gadang digunakan dalam sektor produktif ternyata tidak selamanya benar,” kata Muhib.

Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, lanjut Muhib, pemerintah berdalih bahwa negara dalam kondisi yang aman dengan memiliki rasio utang yang rendah dibandingkan dengan PDB. Simplifkasi yang dilakukan Pemerintah tersebut juga dipandang keliru karena ternyata indikator tunggal tersebut tidak dapat digunakan sebagai acuan.

Negara-negara Eropa seperti halnya Irlandia dan Spanyol yang memiliki rasio utang dibawah 60% dari GDP ternyata mengalami krisis hebat pada tahun 2008. Tidak demikian, misalnya, dengan Jepang yang memiliki rasio utang terhadap PDB diatas 252% namun memiliki stabilitas yang baik. Stabilitas ekonomi di Jepang tidak lepas dari struktur utang Jepang yang mayoritas dimiliki oleh investor dalam negeri dan dalam mata uang Yen.

“Berbeda halnya dengan Indonesia, dimana porsi kepemilikan surat utang yang dimiliki investor lokal terus turun. Justru sebaliknya, jumlah surat utang yang dimiliki asing terus naik hingga mencapai prosentase 38,7%. Hal ini tentunya dapat menciptakan ketidakstabilan ketika investor asing lebih tertarik berinvestasi di negara lain dan berupaya untuk menjual surat utang ke pasar dalam jumlah besar,” ungkap Muhib

Selain itu, depresiasi nilai mata uang rupiah terhadap dollar hingga kisaran Rp13.700 per dollar dapat menguras pengeluaran APBN jika utang yang dibayarkan dalam bentuk dollar. Apalagi, penerimaan pajak negara dibanding PDB (tax ratio) yang hanya mencapai 11% juga menjadi salah satu yang terendah dibandingkan negara-negara tetangga di ASEAN. Tax ratio Thailand 15,7% dan Malaysia sebesar 14,2%.

“Fakta-fatersebut menunjukan bahwa seharusnya Pemerintah dapat mengkaji ulang penambahan dan penggunaan utang agar tidak terjadi diskonektivitas antara utang dan perbaikan kondisi ekonomi Negara,” pungkas Muhib.

Selanjutnya, Pemerintah juga harus merasionalisasikan kembali agar agenda pembangunan nasional dapat berjalan dengan seimbang sesuai dengan penerimaan negara terutama dari sektor perpajakan yang selalu meleset dari target dalam 3 tahun terakhir.

“Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan Pemerintah, besarnya pokok utang dan pembayaran bunga utang hanya akan menjadi “kanker” yang sedikit demi sedikit menggerogoti pertumbuhan ekonomi Indonesia,” tutup Muhib. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.