TERUNGKAP!!! Pakar Pemerintahan Bongkar Kekeliruan Keputusan PTTUN Terhadap KPU Makassar

oleh

MACCANEWS- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) ternyata keliru dalam keputusannya mengabulkan gugatan Munafri Arifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) untuk mendiskualifikasi calon petahana Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi).

Pakar Pemerintahan Universitas Hasanuddin, Dr Mulyadi MSi mengatakan PT TUN telah gagal membedakan jenis sengketa yang tertuang dalam UU Nomor 10 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Kegagalan ini juga membuat PT TUN keliru dalam memproses gugatan Appi-Cicu.

“PT TUN harusnya memahami prosedur penanganan masalah hukum dalam Pilkada. PT TUN tidak bisa bedakan Sengketa Pemilihan (Pasal 142 UU 8/2015) dengan Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan (Pasal 153 UU 10/2016). Sengketa Pemilihan selesai di Panwas/Bawaslu, sedangkan sengketa TUN Pemilihan dapat berlanjut ke Peradilan TUN. Dan materi gugatan ke PT TUN  bukanlah materi sengketa tetapi materi pengawasan Bawaslu. Mestinya Panwas bisa jadikan bahan tersebut sebagai temuan sebelum dilaporkan atau sebelum “diplintir” ke jalur lain,” kata Mulyadi via whatsapp, Senin (26/3/2018).

Tenaga Ahli Bawaslu RI Periode 2012-2017 ini menjelaskan, gugatan Appi-Cicu adalah sengketa pemilihan sebab merupakan sengketa antara paslon dengan KPU yang ada kaitannya dengan paslon lain. Sementara sengketa tata usaha negara pemilihan adalah sengketa antara paslon dengan KPU yang tidak ada hubungannya dengan paslon lain, misalkan paslon tersebut menggugat KPU karena didiskualifikasi.

Koordinator Relawan Perguruan Tinggi untuk data pemilih,  IT dan Logistik KPU Pemilu Tahun 2004 ini mengingatkan bahwa pemikiran politik yang mendasari dibentuknya Peradilan TUN adalah untuk mengadili kebijakan pejabat yang menggunakan suatu kewenangan yang bukan kewenangannya.

“Ibarat rujak cingur, PT TUN telah mencampurbaurkan hukum tata pemerintahan, hukum tata administrasi negara, dan hukum tata negara. Dalam Bahasa Politik, PT TUN harusnya di PT TUN-kan juga karena telah mengadili perkara yang bukan kewenangannya,” tandas Mulyadi yang juga Dosen Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia ini.

“Yang lebih penting Pasal 71 Ayat (6) UU No.10 Tahun 2016, mestinya tidak dilompati oleh PT TUN. Pada Ayat 6 disebutkan bahwa sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) yang bukan petahana diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya selama itu statusnya petahana, maka PT TUN tidak boleh masuk ke dalamnya,” imbuhnya.

Tidak hanya PT TUN, Dosen Pascasarjana Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia ini juga menilai Mahkamah Agung tidak konsisten dengan hukum acaranya. Merujuk Peraturan MA (Perma) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian sengketa tata usaha negara, pemohon sengketa TUN adalah pasangan yang tidak diloloskan oleh KPU sebagai peserta pilkada. Namun, dalam praktiknya MA juga menerima permohonan sengketa dari paslon peserta pilkada. (Wan)

No More Posts Available.

No more pages to load.