Oleh : Saifuddin Al Mughniy
Drama seringkali kita memahaminya sebagai “sandiwara” yang berkisah tentang satu hal dengan narasi dan waktu yang pendek. Bagi sebagian orang membilangnya sebagai fiction yakni cerita fiksi yang diangkat untuk menemukan ruang realitas, walau kenyataan itu bukanlah fakta yang sesungguhnya. Namanya juga fiksi. Tetapi bukan berarti (drama, sandiwara, maupun fiksi) tidak memiliki “ruh” atau paling tidak prestise sebagai karya sastra.
Drama dalam panggung ataupun dalam bentuk sineas (film) selalu dikemas dengan cerita heroik seperti percintaan, pembunuhan, kesedihan sebagai bagisn dari tragedi dalam cerita. Yah, mungkin *Nietzsche* ada benarnya yang menyebutnya bahwa sastra termasuk musik adalah sejarah lahirnya tragedi. Karenanya, drama seringkali menampilkan adegan tragedi sebagai bentuk dialog antara pemeran dengan penontonnya walau tidak secara langsung. Katakanlah, kebencian penonton dengan pemain antagonisme itu juga bagian inter-psikologi komunikasi.
Tetapi kalau tema tersebut ditarik dalam ruang “politik dan demokrasi” tentu tidak se apik dengan cerita yang telah ditulis sutradaranya. Pemain protagonis dan antagonis seringkali mendominasi cerita bahkan naskah ceritanya pun tak sejalan dengan alur realitasnya. Karenanya disana ada tragedi dan kegaduhan, polemik mewarnai bergesernya “cerita”. Tetapi bukan berarti di sana tak ada orang baik dan idealis, tetap ada walau jumlahnya tak banyak.
Fenomena “politik” yang kemudian dengan lahirnya berbagai regulasi seperti MD3, kenaikan BBM secara diam-diam, polemik tentang novel PW Singer, kotak kosong dalam pilkada, itu tak terbantahkan. Tetapi begitu disayangkan sebab diskursus ini cendrung dibawa pada “arena publik” dan berakibat pada “the political decay” yakni pembudukan politik.
Hal tersebut pada prinsipnya begitu mengganggu, nyaris kita tak mendengar ulasan yang produktif dan progres yang baik, yang ada adalah “kebencian” karena pilihan politik yang berbeda. Apakah diskursus ini adalah “pengumuman kematian demokrasi”?., tentu harapan kita sebagai civilitation tak membiarkan demokrasi itu mati dirumah kebangsaan ini.
Karenanya, politik bukan semata pengejaran kekuasaan, tetapi politik setidaknya dipahami sebagai knowledge (pengetahuan) dan institusi perjusngan rakyat atas nama demokrasi.