MACCANEWS- Sengketa kasasi Pilkada Kota Makassar akan diputus Mahkamah Agung pada Senin, 23 April mendatang. Ribuan massa pasangan calon Moh Ramdhan Danny Pomanto-Indira Mulyasari (DIAmi) akan turun ke jalan pada hari tersebut. Aparat diminta mewaspadai munculnya provokator agar potensi konflik bisa dihindari.
Pasalnya, menurut kajian ilmu gerakan sosial, jumlah massa berkorelasi dengan potensi konflik. Semakin banyak jumlah massa yang turun ke jalan, potensi konflik semakin terbuka lebar. Massa yang banyak akan lebih mudah diprovokasi oleh oknum dan lebih mudah tersulut amarah. Terlebih jika ada motif ketidakpuasan terhadap putusan hukum dan gejolak ketidakpercayaan terhadap lembaga peradilan.
“Dalam kajian ilmu gerakan sosial, di mana banyak massa berkerumun, maka pasti akan muncul provokator yang memanfaatkan situasi. Apalagi saat ini berkembang sikap apriori masyarakat yang menganggap lembaga peradilan itu hanya sandiwara saja. Bila diakumulasi dengan adanya ketidakpuasan, maka tentu kerumunan itu lebih mudah tersulut oleh provokasi. Di mana-mana begitu. Ketika masyarakat tidak percaya lagi dengan lembaga hukum pasti akan rusuh. Ini yang harus diwaspadai oleh aparat keamanan agar konflik horisontal yang merugikan semua pihak itu bisa dihindari,” kata Sosiolog Politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Dr Andi Haris, Jumat (23/4/2018).
Menurut dosen sosiologi FISIP Unhas ini, putusan MA diibaratkan buah simalakama. Apapun putusan yang keluar, apakah mendiskualifikasi DIAmi ataukah membatalkan putusan PTTUN, tentu akan tetap muncul gelombang ketidakpuasan dari salah satu pihak yang merasa dirugikan.
“Ibarat maju kena mundur kena. Pasti ada pihak yang tidak puas. Sehingga yang terpenting adalah putusan MA itu harus objektif dan berdasarkan pada fakta hukum yang kuat serta hakim bersikap independen dan bebas dari intervensi dalam mengambil keputusan, agar semua pihak bisa menerima putusan tersebut dengan lapang dada. Penegak hukum dan penyelenggara pilkada juga harus bertindak adil dan tidak diskriminatif,” imbaunya.
Lalu bagaimana bila gesekan horisontal masih saja terjadi meskipun upaya pencegahan telah dilakukan aparat?
“Di sinilah dibutuhkan kepiawaian aparat dalam melakukan langkah resolusi konflik. Harus ada rekonsiliasi sebelum gesekan kecil itu menjadi besar. Kalau bisa tokoh politik dan agama yang berkharisma itu turun gunung mendamaikan kedua kubu. Supaya konflik bisa diredam dengan cepat dan tidak sampai berimplikasi kepada masyarakat banyak yang tidak ada hubungannya dengan persoalan tersebut, seperti penjarahan dan ekses-ekses lainnya,” jelasnya.
“Apalagi dua kelompok ini kan sudah berkomitmen pilkada damai. Saya kira semua pihak harus menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin sehingga konflik seperti itu bisa kita cegah agar pilkada tetap kondusif. Jangan sampai terjadi benturan karena yang menjadi korban adalah masyarakat,” imbuhnya. (Wan)